Bagian 16A (Ares)

169 31 10
                                    

Antares Erlangga

Kematian Mahes membuat berbagai spekulasi muncul. Pak Dirga mencurigai ada mata-mata dalam tim kami. Terlebih, padaku dan Ben yang terakhir terlihat berinteraksi dengan Mahes. Jenazah Mahes segera dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa penyebab kematiannya, sebelum dimakamkan secara layak.

“Bibi, maaf lama. Ayo kuantar pulang,” ujarku menghampiri Bibi yang masih duduk di bangku kayu.

            “Res, bibi pulang sendiri saja. Sepertinya di sini lagi ada masalah, ya?” Bibi terlihat khawatir. Jangan sampai ia tahu, kalau orang yang baru saja meninggal adalah Mahes keponakannya. Biarlah keluarga tetap mengenal Mahes sebagai anak yang baik dan berbakat, kebanggaan keluarga.

“Nggak, Bi. Udah diurus petugas lain, kok.” Bibi akhirnya menurut, meski sedikit ragu.

Sekitar dua puluh menit perjalanan naik motor, kami memasuki perumahan elite. Aku beberapa kali mengantarkan Bibi ke rumah majikannya, tetapi biasanya hanya sampai depan kompleks. Kali ini berbeda. Setelah lapor kepada satpam di pos keamanan di pintu gerbang kompleks, kulajukan motor menuju sebuah rumah nomor delapan, sesuai arahan Bibi. Sebuah rumah tiga lantai dengan halaman luas. Meski dikelilingi pagar tembok tinggi, dua pintu gerbang di kanan dan kiri didesign renggang. Dari luar, terlihat jelas betapa megah rumah itu.

Bibi pamit masuk, saat seorang wanita berjalan menuju mobil merah yang terparkir di halaman. Wajahnya tak terlalu jelas, tetapi tinggi dan perawakan wanita itu mengingatkanku pada seseorang. Lola. Aku tersenyum geli. Bisa-bisanya saat seperti ini malah ingat hantu labil.

Ah, dasar!

***

“Res, aku mau jalan-jalan bentar. Bosan. Di sini juga dicuekin mulu,” ujar Lola seraya berputar di langit-langit, saat aku sedang berkutat di depan laptop, mencoba memahami potongan-potongan informasi yang telah kami dapat.

“Terserah! Asal jangan bikin ulah!” sahutku tanpa menoleh. Benar saja, selepas Magrib, Lola pergi entah ke mana.

Saat ini, kami sedang berada di sebuah hotel di Ubud, Bali. Setelah jasad Salina ditemukan tempo hari, prosesi pemakaman pun dilakukan. Salina dan Mahes dimakamkan bersebelahan. Semoga mereka tenang sekarang. Meski kematian Mahes meninggalkan banyak pertanyaan, tetapi paling tidak ia sudah terbebas dari kejamnya dunia fana.

Jika yang dikatakan Mahes benar, besok jam enam sore adalah waktu pertemuan kelompok Ohara. Namun, yang masih membuat ragu, kenapa pertemuan rahasia mereka di tempat padat pengunjung?

Lalu, orang yang Mahes anggap teman itu ….

“Aku nggak bisa sebut nama, Res. Tapi, kamu akan tahu saat situasi genting. Dia pasti bantu kamu.” Perkataan Mahes waktu itu terus terngiang.

Baiklah, kita lihat saja, di pihak siapa Dewi Fortuna akan berpihak. Malam ini, kuputuskan untuk tidak keluar kamar, memanfaatkan pelayanan hotel saat lapar. Hingga akhirnya, rasa kantuk menyergap tanpa tahu kapan Lola kembali.

Keesokan harinya, Lola sedang bersenandung sembari menyusun makanan di meja, saat mataku terbuka. Aneh, karena kemarin hantu wanita itu lebih banyak diam melamun. Ah, bukankah wanita memang sukar ditebak?

“Makanan banyak gitu nyolong di mana, La?” Aku bangkit, lalu memutuskan untuk mendekatinya. Di meja, ada bermacam makanan tersusun rapi.

“Enak aja, nyolong,” sahutnya cemberut.

“Kalo nggak nyolong, terus kamu beli gitu? Gimana caranya?”

“Iiiish, Ares mulutnya jahat! Aku barter, Res! Barter!”

Aku menaikkan sebelah alis, tak mengerti. Lola mulai menunjukkan wajah kesal.

“Barter pakai apa?”

“Kan aku bantu-bantu mereka. Cuci perabotan, bersihkan lantai, bantu pindahkan barang. Ya makanan-makanan itu sebagai imbalanlah,” ujarnya bangga. Aku hanya menatapnya heran. “Tenang aja, mereka nggak lihat kok. Cuma tahu beres aja, sih.”

Aku terkekeh pelan, lalu duduk di salah satu sofa. Sedikit takjub dengan Lola pagi ini. Tumben dia pintar.

“Udah, makan aja. Harusnya kamu bilang makasihudahdibawain makan tauuuk!”

“Makasih, La,” ujarku tersenyum seadanya. “Kalo diurusi kayak gini, berasa punya istri, ya.” Aku mencomot sepotong roti nanas di meja. Lola membuang muka, lalu berbalik membelakangiku.

“Lhah? Ngapain?”

“Malu, Areeees! Maluuu. Dasar nggak peka,” ujarnya seraya menutup muka dengan roti tawar. Etdah!

“Semalam kamu ke mana aja, La?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Lola sudah bersikap biasa, menghirup sebagian makanan di meja.

“Nonton pertunjukan tari.”

“Oh.”

“Oh doang?” Lola cemberut, membuatku tersenyum kecil.

Kami sarapan bersama, dengan cara masing-masing. Tanpa sadar berbincang ringan di sela misi. Sudah lama aku tak bercengkerama sehangat ini. Sejujurnya, aku kesepian. Kehadiran Lola sedikit banyak mulai merubah pola hidupku yang monoton. Paling tidak, aku punya teman berbagi yang tak mungkin mengumbarnya pada orang lain.  

“Apa kamu takut, Res?” tanya Lola tiba-tiba.

“Hah?”

“Misi kali ini berbeda dan sangat berbahaya. Kamu ke sini tanpa rekanmu. Sendirian. Apa kamu nggak takut?”

Aku tak bisa memahami arti tatapan Lola kali ini. Tak ada senyum jahil yang biasa diperlihatkan, membuatku merasa benar-benar diperhatikan. Tatapan itu, mirip tatapan Kak Annet saat aku pertama kali bertugas. Apa dia mengkhawatirkanku?

“Siapa bilang? Kamu bakal bantu aku. Benar, kan?”

Lola menatapku sejenak, ada kaca-kaca di manik hitam itu. Kepalanya mengangguk samar, lalu tersenyum. “Tentu, aku bakal jaga kamu, Res.”

Perkataan Lola barusan menimbulkan rasa hangat dalam dada. Entah perasaan asing apa yang tengah menyusup, nyatanya aku menikmatinya.

“Makasih.”

Bersambung.....

SASSY GHOST (END) Where stories live. Discover now