Chapter 8

19.8K 658 19
                                    

Unedited.

Catherine

Ia tidak pernah menyukai apapun yang berhubungan dengan Rumah Sakit.

Mulai dari sirine ambulan (ia selalu menutup telinga ketika bunyi sirine itu mengaum sepanjang jalan), simbol rumah sakit, bahkan bau rumah sakit itu sendiri. Catherine hanya memejamkan mata ketika udara dingin berbau obat keluar dari  pintu otomatis rumah sakit menyerbu dirinya yang berjalan menuju meja resepsionis.

“Dokter Irene Freud, perjanjian dengan Adams, Catherine Adams.” Cath menopang dagu dengan lengannya diatas meja.

Resepsionis berambut coklat itu dengan sigap mengetik data-data yang disebutkan Cath. “Dokter Irene Freud ada di ruang pemeriksaannya, di lantai 3.”

“Terima kasih.” Cath tersenyum padanya dan menuju elevator terdekat

Kertas putih yang menempel pada dua dinding elevator membuat Catherine mendengus kesal. Bagaimana mungkin dua dari empat elevator rusak bersamaan di sebuah rumah sakit? Ia memutarkan bola mata setelah mengetahui elevator di samping dirinya penuh dengan antrian orang yang ingin menggunakan elevator yang berfungsi.

Cath bergidik membayangkan pintu elevator itu terbuka dan dirinya berdesakan dengan kerumunan orang (itu pun bila ia mendapat tempat). Ditambah, Cath juga sangat-benci bau

Maaf saja, ia lebih memilih naik tangga, dibanding mencium aroma ketiak dari kerumunan orang berdesakan.

Cath mengeluarkan tissue dari tas ranselnya dan memasukannya di dalam masker yang ia pakai sebelum ia bergegas menaiki tangga. Ia mulai tidak tahan dengan bau rumah sakit ini.

Lantai dua. Catherine melihat anak kecil yang duduk di kursi  roda itu menatap dirinya bingung. Tidak ada sehelai rambut di kepalanya, sehingga Cath beranggapan anak ini mengidap suatu kanker yang serius. Ia tersenyum dan melambai pada anak itu. “Hai.”

Anak itu membalas senyuman Cath—sepertinya. Bibir kering dan pucatnya membuat Cath bingung apakah ia sedang tersenyum atau menyeringai padanya. Gadis itu kemudian menangkat tangan kanan dan menggerakan jemari-jemari kurusnya pada Catherine. Oh, dia tersenyum.

“Hai.” Sapanya. “Kenapa kau tidak menggunakan elevator?”

“Oh, um. Elevatornya rusak. Jadi aku naik tangga saja.” Cath tersenyum gugup, kakinya tidak bergerak untuk melanjutkan perjalanan.

Ia penasaran pada anak di depannya ini. Badannya terlalu kecil untuk anak seusia 5 sampai 10 tahun, karena Cath tahu anak yang lebih kecil dari usia itu tidak mungkin menanyakan ‘elevator atau tangga’ pada orang asing.

“Dahimu kenapa?” Gadis kecil bermata biru itu menunjuk pelipis kanan Cath.

“Oh, err, aku terjatuh saat jogging tadi.” Bohong Cath.

 “Oh, tak heran mengapa kaki-kakimu terlihat kuat.” Ujarnya. “Aku ingin sekali punya kaki seperti dirimu, tapi berdiri sebentar saja sudah membuatku sakit.”

Bola mata biru Cath meneliti setiap inci tubuh kurus gadis itu hingga kakinya yang ditutupi selimut motif bunga. Ia sempat mengira kedua kaki gadis itu di topang oleh tongkat, namun tidak. Tongkat itu adalah kaki-kakinya.

Lagi Catherine, kebohonganmu membawa sial.

Cath kembali memandang gadis itu sejenak.

Cantik. Andai saja ia memiliki rambut, pasti akan jauh lebih cantik. Ia kemudian merasa kasihan pada anak itu. Di usia yang begitu muda, ia harus berjuang melawan penyakit ganas. Ia jadi teringat, dulu ia ingin sekali punya adik perempuan. Karena kakaknya, Gerald, sangat menyebalkan untuk notabene seorang kakak, walau di waktu yang bersamaan ia termasuk tipe penyayang.

The Virgin Night Lady // z.m [Discontinued - Revisi cerita di "Attached, "]Where stories live. Discover now