12🍂 Pesarean

395 73 18
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***

Harapanku mungkin berlebihan. Tapi, salahkah jika aku menginginkannya meski hanya dalam sebuah harapan sekalipun?
________

Sinar matahari kian terasa panas hingga membuat peluhku menetes dari kening ketika posisi matahari tepat di tangah langit. Setelah dari gudang aku memang tidak langsung pulang, pergi ke toko plastik yang berada lumayan jauh dari rumah. Aku menarik rem ketika sampai di ujung jalan sempit menuju rumah. Kuputuskan turun dari sepeda, menuntunnya melewati jalan tanah yang mulai kering ini.

Tampak dari kejauhan pria asing tengah berbincang-bincang dengan Ibu. Anggukan dan ulasan senyum terlihat ketika pria tersebut mengangsurkan sebuah bungkusan plastik cukup besar pada Ibu sebelum pergi. Ketika berpapasan denganku, sosok itu mengangguk samar sembari mengulas senyum sebelum berlalu.

Ketika melihat kedatanganku, Ibu meletakkan bungkusan plastik yang sempat dipegang di atas amben. Menghampiriku lalu meraih bungkusan yang kubawa, membukanya sebelum menggiringku duduk di pinggiran amben setelah menyingkirkan bungkusan tadi ke sudut.

"Semuanya yang ditulis tadi sudah kamu beli, Nduk?" Aku mengangguk.

"Bu, aku beli keripik tahu. Mau aku jadikan contoh sebelum buat. Aku mau membuatnya untuk dijual." Ibu tersenyum, mengusap punggungku. "Semoga menjadi jalan rizkimu, Nduk."

Ibu beranjak sembari membawa bungkusan yang diberikan pria tadi ke dalam rumah. Memintaku membawa plastik belanjaan kami juga ke dalam.

Aku langsung duduk di ruang tamu sembari meluruskan kaki. Melepas kerudung hitam yang kukenakan. Mengambil sebungkus keripik tahu tadi, mengincipi sambil memikirkan bahan dan bumbu apa saja yang dipakai.

Ibu datang dengan tangan membawa piring berisi potongan buah semangka. Diletakkan di hamparan tikar bagian tengah lalu duduk berhadapan denganku.

"Makan, Nduk. Tadi Pakdemu yang kasih. Katanya Bude dapat kiriman banyak dari ponakannya di desa." Tanganku mengambil sepotong, memakannya pelan.

Kilasan foto Bapak tiba-tiba merasuk dalam pikiranku setelah sepotong semangka sudah kutelan, membuat mataku memanas kala teringat bapak. Aku rindu sosok yang telah tiada sejak aku masih belia. Beliau sosok yang selalu Ibu ceritakan kegigihannya dalam bekerja, ketaatannya kepada Allah, ketawadhuannya, dan semua hal baik yang ada padanya.

Mungkin mengerti perubahan dariku usai memakan sepotong buah semangka. Sebuah usapan kurasakan di punggung tanganku. Aku menatap Ibu dengan derai air mata. Isak tangisku mulai terdengar.

"Aku rindu Bapak, Bu. Nanti sore ke pesarean ya," ucapku dengan suara parau. Mengusap air mata yang mulai deras meluruh dari pelupuk mata.

Kulihat wajah Ibu menatapu sendu, mengangguk pelan lalu menggeser posisinya hingga duduk di sampingku dengan satu tangan yang lain menepuk punggungku.

"Iya, nanti sore kita ke sana. Mumpung nanti malam Jum'at," ucap Ibu yang membuat tangisku reda. Memeluk sosok surgaku yang juga tengah dilanda kerinduan pada bapak.

"Anis." Panggil Ibu disertai tangannya mengurai pelukan pelan. Menatapku lekat dengan senyum tipis.

"Iya, Bu," jawabku lirih.

"Maafkan Ibu jika suatu saat membuatmu kecewa dengan keputusan Ibu," ucap Ibu yang membuatku membalasnya dengan mengangguk lemah.

***

Sepiring mendoan, sambel terasi dan sayur bening bayam menjadi menu kami. Aku dan Ibu bukan langsung menyantapnya melainkan kami makan ba'da maghrib nanti setelah mengaji dan tahlil.

Sore ini kami bersiap menuju pesarean. Membawa sekantung plastik berisi bunga mawar dan sapu lidi serta tikar kecil untuk duduk. Kami berjalan menuju makam melewati jalan paving yang lumayan jauh.

Sepanjang perjalanan menuju makam, aura wajah bahagia Ibu terpancar. Seolah tak sabar bertemu kekasih tercinta meski bukan berjumpa dengan raganya. Aku tau, hati Ibu kerap ditimpa kerinduan pada bapak. Berusaha tegar dan menyembunyikan dariku agar aku tidak merasakan kesedihan mendalam karena memang hanya sebentar aku bisa dalam buaian bapak. Tidak seperti teman-temanku yang lain. Bisa bercanda, pergi ke suatu tempat bersama kedua orang tuanya dan bisa memberikan kabar gembira ketika berhasil mendapatkan peringkat pertama di kelas sedangkan aku hanya mampu menahan tangis ketika melihat semua itu.

Aku tidak menyesali keadaan dan telah ridho dengan semua ketetapan yang telah diputuskan Allah. Karena sesungguhnya aku masih tetap bisa berbakti pada keduanya meski dengan cara berbeda. Aku mengabdikan diriku pada Ibu dengan doa, jiwa dan raga, sedangkan aku berbakti pada bapak lewat doa yang kukirimkan padanya selepas salat.

Allahummaghfirlahu warhamhu wa 'aafihi wa'fu 'anhu.

Setiba di pemakaman, aku dan Ibu langsung berjalan menuju makam bapak. Mataku menyipit ketika melihat sosok pria yang berjongkok di sana. Aku tidak asing, postur tubuhnya sangat kukenal. Dialah sosok yang tadi pagi menolongku.

Bertepatan kami sampai di sana, kulihat kedua tangannya yang semula tengadah mengusap wajahnya. Menyentuh nisan bapak seraya tersenyum. Tak ada keterkejutan, malah sosok itu langsung berdiri, menghampiri dan meraih tangan Ibu. Mencium punggung tangan Ibu dengan takdzim.

"Sudah selesai Juragan?" tanya Ibu.

"Sampun. Dafa sudah ke rumah, Bu?" Ibu tersenyum, mengangguk samar. "Terima kasih, Juragan. Ibu jadi tidak enak. Atau mau mampir ke rumah?" Juragan tersenyum disertai gelengan pelan mendengar tawaran Ibu. Ada yang berbeda, senyumnya kali ini bahkan lebih merekah dibandingkan esok tadi ketika di gudang.

"Mboten, Bu. Ya sudah saya permisi," Ibu mempersilakan. Sosok itu beranjak berjalan menjauh dari Ibu yang membuatnya berpapasan denganku yang sejak tadi berdiri dengan bentangan jarak di belakang Ibu. Hanya menjadi pendengar ketika Juragan dan Ibu berbincang. Dan dari percakapan itu aku baru saja tau jika pria yang tadi siang datang ke rumah adalah sosok yang diminta Juragan mengantarkan bukusan plastik cukup besar yang berisi sembako.

Kenapa dia begitu baik? Apa yang membuatnya berlaku seperti itu pada keluargaku? Tidak tau kah jika semua kebaikannya itu membuatku takut tidak bisa membalas dengan impas.

Mataku terpejam sesaat, memikirkan semua kebaikannya. Kedua kelopakku terbuka ketika langkahnya terlihat melambat ketika mendekatiku yang masih berdiri mematung di belakang Ibu. Tak ada sapaan darinya, hanya usapan di puncak kepalaku sebagai gantinya. Membuat jantungku berdebar, aliran darahku seolah mengalir begitu cepat. Ini kali pertama sebuah usapan dia berikan padaku.

Ya Allah, pantaskah jika aku berharap sosok itu yang kelak menjadi pendamping hidupku? Pendamping dari gadis yang kurang berkecukupan dari segi materi sepertiku. Kami laksana bumi dan langit.

***

Semarang
7 Juni 2021
Malam 27 Syawal 1442

Sudera Untuk Brahmana Where stories live. Discover now