36🍂 Bermain Cantik

335 84 16
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
****

Cakrawala pagi ini tampak muram, awan pekat berwarna kelabu menghiasi langit tempatku beristirahat hingga meluruhkan air secara teratur dari sana. Pantulan cahaya mentari yang biasanya hadir terganti oleh lampu jalan raya yang menjadi penerang utama kendaraan yang melintas.

Bukan tanpa sebab aku berada di tempat ini sekarang. Tepatnya sejak pukul enam aku memang sudah keluar dari kawasan pondok. Niat awal yang hanya ditugaskan membeli bahan masakan untuk nanti siang pada akhirnya membeli barang lebih banyak dari rancangan, membeli pesanan Umi juga yang dijual di toko tak jauh dari pasar untuk mempersiapkan kedatangan sang putra yang lusa akan tiba.

Ning Kia yang sebelumnya akan ikut ke pasar karena ingin membeli sesuatu tapi, mendadak batal sebab perutnya nyeri yang berakhir aku dan Mbak Hara yang berangkat. Bahkan adegan drama Korea dadakan sempat tersaji ketika Ning Kia yang saat itu mengeluh nyeri di perut tengah berdiri bersama kami, Mbak Hara dengan cepat meminta bantuan pada kang Dafa yang lewat untuk langsung memanggil Kak Arif. Adegan manis pun terjadi, Kak Arif yang berprofesi sebagai dokter dengan sigap membawa sang istri masuk ndalem sambil bertanya lebih rinci hal yang dikeluhkan oleh sang istri.

Sudah cukup lama kami berdiri dalam keheningan hingga sebuah usapan pelan dari Mbak Hara mampir di pundakku.

"Belakangan ini kamu sering diam, Nis. Kamu ada masalah?"

Aku tersenyum tipis, membalas usapannya lalu menggiring sosok berkerudung merah jambu itu ke kursi kayu di sudut emperan warung tempat kami berdiri.

"Hidup sebagai manusia di dunia memang kadang dihinggapi masalah, Mbak. Masih wajarlah kalau aku ada masalah dan itu tandanya aku masih manusia," balasku dibarengi kekehan.

Bukan membalas dengan kekehan, ternyata kekehanku malah disambut helaan napas berat darinya, sebuah decakan pelan turut mengiringi.

"Dalam hal ini masalah seperti apa dulu yang perlu dianggap wajar, ada taraf kerumitan yang tidak bisa dianggap enteng, Nis. Apalagi kalau sudah membuatmu susah tidur dan bikin bingung. Sebenarnya apa yang kamu pikirkan sampai membuatmu begitu?"

Ucapan Mbak Hara berhasil membuatku tak berkutik, senyum yang semula masih menghiasi bibir memudar. Rasanya kelu untuk menanggapi sebab jawaban dari pertanyaan itu masih belum mampu kukatakan, apalagi ini perihal Juragan.

Aku menarik napas dalam-dalam, menggelengkan kepala sambil kembali tersenyum. Tidak semua masalah bisa kubagi padanya, apalagi tentang sosok putra pengasuh pondok kami.

Rintik hujan yang mengguyur jalanan perlahan tampak menipis, aroma petrikor yang semula menyeruak mulai menghilang.

Kami berdua serempak beranjak dari tempat duduk, membawa barang belanjaan lalu kembali melanjutkan perjalanan pulang. Ditengah perjalanan tiba-tiba motor yang kami naiki mogok, membuat penumpangnya turun.

"Astaghfirullah, motornya lupa dibawa Kang Abdul ke Pak Jan." Mbak Hara melihat bagian mesin yang entah kenapa mengeluarkan air. Ia menghela napas panjang sambil mengatakan bahwa hal ini juga salahnya yang lupa mengingatkan Kang Abdul membawa motor ke bengkel Pak Jan kemarin.

"Kalau ke bengkel yang paling dekat sini masih jauh nggak, Mbak?" Aku mengambil semua bungkusan plastik yang semula dibawa Mbak Hara.

Mbak Hara mulai mendorong motor ke tepi jalan. "Yang paling dekat sini itu sekitar satu kilometer, Nis. Tapi ndak masalah, sekalian olahraga."

Sepuluh menit berlalu, tak kunjung bengkel yang dimaksud Mbak Hara terlihat. Sebelumnya kami sempat senang ketika melihat plang bengkel motor tak jauh dari tikungan jalan tempat motor kami mogok tapi, bengkel tersebut ternyata masih tutup.

Sudera Untuk Brahmana Where stories live. Discover now