48🍂 Pengakuan dari Juragan

227 49 11
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

***

Sampai depan gang kecil menuju rumahku Mas Damar menghentikan mobil. Ketika aku akan membuka pintu untuk keluar ia mencegah. Memintaku tetap duduk.

"Kamu sudah hampir sebulan di rumah. Nasib mondok mu gimana? "

Seperti disentil, aku tersadar kalau saat ini masih berstatus sebagai santri. "Ndak tahu, Mas. Aku masih bingung kalau kembali ke pondok. Rasanya pingin boyong," ucapku dengan ragu.

Tarikan napas panjang Mas Damar terdengar. "Lha terus harapan paklek Usman ingin anaknya mondok gimana? Bukannya kamu dulu juga pingin mondok, Nok, " ujarnya.

Masih teringat dulu bagaimana aku meminta ijin pada Ibu. Meminta beliau mengijinkanku tinggal di pondok untuk mencari ilmu. Harapan dari Bapak padaku turut muncul juga. Tapi dengan keadaan seperti sekarang apa aku bisa tetap nyaman mondok di sana?

Pondok yang tak lain diasuh oleh keluarga laki-laki yang beberapa waktu lalu mengaku telah menikahiku. Masalah sebab pernikahan rahasia itu pasti sampai sekarang belum memperoleh titik terang, terbukti karena juragan tak kunjung datang ke rumah. Lantas bagaimana mungkin aku masuk ke sana dengan kondisi begini?

"Sekarang Mas tanya sekali lagi, apa kamu sudah ndak ingin lagi ngaji di pondok itu?"

"Aku sebenarnya ingin, tapi ___"

"Bulek Namira? "

Aku diam, kenyataannya memang salah satu alasan yang memberatkanku adalah Ibu selain pernikahanku.

Mendengar itu Mas Damar langsung turun, memberi isyarat padaku juga untuk mengikutinya.
Kami mengucap salam begitu sampai di depan rumahku, Mas Damar langsung mengulurkan tangan saat Ibu menghampiri. Mengecup singkat punggung tangan ibuku.

"Mejanya sudah diambil semua, Damar? "

"Alhamdulillah sudah, Bulek. Ini nganterin Anis sekalian mau ngomong sebentar sama Bulek."

Ibuku tersenyum mempersilakan Mas Damar masuk, tapi ia menolak. Memilih duduk di emperan rumah saja. Sedangkan aku diminta membuatkan minuman di dapur.

Pikiranku langsung kembali pada percakapan kami tadi. Apakah Mas Damar akan membahas hal yang sama tentang nasib mondokku dengan Ibu?

Lima menit, aku kembali keluar dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat.  Hanya obrolan biasa tentang penjualan keripik yang Mas Damar singgung saat aku sudah berada di antara mereka. Tidak ada pembicaraan tentang nasib mondokku.

"Nduk, kata Damar keripiknya alhamdulillah sudah bisa disetor ke toko di kecamatan sebelah. Katanya kemarin pemiliknya menghubungi bisa diantar minggu depan. "

Hamdalah kuucapkan disertai senyum tipis. Kembali mendengar penjelasan Mas Damar sebelum kami menyetorkan barang. Ia langsung pamit setelah itu.

Kami masuk, aku menuju dapur meletakan nampan sedangkan Ibu duduk di ruang tengah.

"Nduk --"

Tubuhku terdiam sejenak saat melihat Ibu memegang tasku berisi beberapa kitab yang dikaji di pondok.

"Ibu ijinkan kamu kalau mau kembali ke pondok."

Aku menunduk sambil berjalan mendekat. "Kenapa Ibu ngomong begitu? "

"Ibu merasa sangat bersalah pada bapakmu jika kamu tidak kembali ke pondok. "

Isakan terdengar, Ibu memandangku lamat sambil mengusap air mata yang jatuh.

Sudera Untuk Brahmana Where stories live. Discover now