05 - His Humor

3.3K 840 115
                                    

Kalau kamu tertawa, seisi semesta diam mendengarkan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kalau kamu tertawa, seisi semesta diam mendengarkan.
 Berterima kasih karena gelakmu sebanding dengan seribu kehidupan.

***

Di balkon rumah Yatara yang besar itu, kami berdiri dengan jarak sejauh empat meter. 

Tidak, kami tidak saling dikuasai emosi. Bahkan, sejak tadi aku dan Yatara tertawa-tawa terus. Entah karena leluconnya, cerita-ceritaku di masa kuliah, dan menertawakan suara gelak tawa masing-masing.

Yatara sedang merokok, dia awalnya mengusirku karena tak mau aku kena asapnya. Namun, aku memang bebal dan seringnya mau dekat-dekat dia. 

Rumahnya mewah, seperti yang kubayangkan sebelumnya. Dia tinggal sendiri karena orang tuanya tinggal di rumah lain–yang katanya lebih besar lagi. Kakak perempuannya tinggal bersama suaminya. Jadi, di sini dia cuma hidup bersama pekerja-pekerjanya.

Rumah ini didominasi warna putih dan desain ala-ala hunian di Eropa. Pilarnya besar-besar, jendela lebih tinggi dari rumah dua lantai. Tirainya seperti tirai pertunjukkan, perlu beberapa saat bagi pembuka otomatis untuk membiarkan cahaya matahari masuk ke rumah.

"Aku belum tahu golongan darahmu apa." Yatara berkata setelah mengepulkan asap kepada udara malam.

"O." Aku menjawab begitu saja. Sadar setelah tiga bulan berpacaran, aku juga belum tahu golongan darahnya apa. "Kamu?"

"Guess my blood type." Yatara mengangkat sebelah alisnya.

Aku menumpangkan kedua tangan ke pagar balkon yang kokoh ini. "A?"

"No."

"B?"

"Also no."

"O juga?" 

Yatara menggeleng.

"Kalau gitu, AB?"

"Bukan."

Ingin sekali aku menjitak kepalanya. "Then what is your blood type?"

"Your type."

Yatara mengedipkan sebelah matanya dan aku melemparnya dengan sepatu.

Golongan darahnya AB.

Setelah rokoknya habis, Yatara mengeluarkan permen dari sakunya. Permen mint yang selalu dia bawa-bawa. Dia juga menenggak segelas air sekaligus. Tangan kanannya terentang, menyambutku ke dalam pelukannya.

"Pernah nggak, kamu dapat klien waktu open komisi ilustrasi yang nyebelin?"

Dalam pelukan Yatara, aku menempatkan daguku ke bahunya. "Sering. Yang sok-sokan bilang mau komis ini itu, tapi pas dikasih rate harga terus ngilang juga banyak."

"Kamu block nggak?"

"Nggak, aku hapus aja chat-nya."

"Aku mau komis dong, kalau gitu."

"Buat apa?"

Yatara mengambil ponselnya yang berada dalam saku celana, aku kemudian mendengar bunyi permen yang digigit sampai remuk darinya. "Buat pajangan."

Dia menunjukkan foto kami beberapa hari yang lalu. Aku mengenakan kemeja putihnya yang terlalu besar untukku. Yatara telanjang dada, memeluk dari belakang dan mengecup bagian belakang leherku.

"Nggak malu memangnya pajang gambar begitu?" Aku segera mengingat kami juga punya potret ketika sedang berciuman. "Mau dipajang di mana?"

"Di dompet? Jadi wallpaper? Kan, bisa di mana aja."

"Kutolak deh, tawaran komisinya."

"Kok ditolak?" Yatara mengerucutkan bibir. "Kamu lebih suka praktik adegannya ya, daripada digambar?"

Si bodoh ini.

"Aku lagi ngajak, lho."

"Ngajak apa?" Aku kedengaran sedang berpura-pura tidak mengerti.

"Melakukan kegiatan biologi."

Aku memelototinya dan dia hanya tersenyum lebar.

Di kamar Yatara, di atas tempat tidurnya, aku mulai membuat line utama pada tablet PC-ku untuk gambar yang dia inginkan itu. Meski pada awalnya aku selalu menolak setiap permintaannya, aku akan luluh detik selanjutnya juga. Namun, sekarang giliran Yatara yang tak senang. Dia menusuk-nusuk lenganku dan bilang dia tidak jadi ingin potret kami digambar.

"Aku mau mengakui kalau aku yang lebih ingin praktik dibanding gambarnya."

"Nanggung." Aku menepis tangan Yatara yang mulai memeluk pinggangku dari samping.

"Kan, bisa dikerjain besok." Yatara belum menyerah juga. 

"Praktiknya juga bisa besok."

"Tapi besok kita bakal jalan dan hunting kuliner."

Aku memutar bola mataku malas. "Sebentar lagi."

Yatara mencuri ciuman di pipi, dia berbaring dan menatap langit-langit. "Menurut kamu, masih zaman nggak ubah status di Facebook? Kayak A telah bertunangan dengan B."

"Apa, sih?" Yatara mulai dengan selera humornya yang kadang aneh itu.

"Menurut kamu, acara cari jodoh kayak pencet tombol buat matiin lampu sebagai bentuk ketidaktertarikan itu beneran atau nggak?"

"Aku nggak percaya sama acara-acara di televisi," jawabku. "Kenapa kamu nggak coba daftar aja biar bisa cari tahu jawabannya? Pasti pada naksir."

"Acara begitu kan, nggak cocok buatku. Lagian, mending aku cari pacar ke tempat belanja. Nyari orang yang ngajak suit buat dapetin jus jeruk."

Yatara tidak akan membiarkan lelucon soal pertemuan pertama kami berlalu begitu saja.

Aku mendengus, memilih fokus untuk menyelesaikan gambar ini. Tinggal diwarnai. Sebab aku sedang malas memulas warna serinci yang biasa kulakukan, jadi kubuat satu bagian satu warna saja, tidak ada bayangan ataupun arsiran. Rambut Yatara hitam, punyaku merah kecokelatan.

Sepertinya aku benar-benar menenggelamkan diri pada gambar ini sampai-sampai suara Yatara tak terdengar lagi. Begitu kulihat sedang apa kekasihku itu, dia sudah tertidur.

Aku mengecup pipinya dan memandangi Yatara sesaat. Pada bibirnya yang sedikit terbuka, pada dadanya yang naik turun, pada helai-helai rambutnya yang lembut.

Bertanya-tanya apa yang kulakukan di kehidupan sebelumnya, sampai-sampai kami dipertemukan dengan cara seperti ini.

***

To be continued.

***

Him ✓Where stories live. Discover now