Prolog

513 44 16
                                    

*Jangan lupa follow, vote dan komen

*Cerita diupdate seminggu 3x


Jantung Rania berdebar cepat dipenuhi rasa tidak terjabarkan kata. Tak lama lagi, ia dan pujaan hatinya akan menjadi pasangan suami istri. Sejatinya, untuk memiliki hubungan abadi hingga maut memisahkan.

Akhirnya, kisah cintanya tiba juga di hari ini. Hari pernikahannya.

"Bagaimana?" tegur Renjana, kakaknya, dari balik punggung Rania yang sedang dirias. "Sudah ada kabar belum dari Adit?"

"Belum Kak," Rania bicara tanpa menggerakkan bibir, perias sedang meratakan alas bedak di wajah calon pengantin 23 tahun itu. "Yang lain bagaimana? Ada komunikasi?"

"Kata Ibu, lima belas menit yang lalu mereka sudah mau berangkat, tapi belum ada kabar lagi," sejenak wajahnya dihinggapi cemas. "Aduh, mudah-mudahan tidak terkena macet ya," harapnya.

Rasa gelisah mulai mengusik hati calon pengantin wanita. Semakin lama semakin tidak tenang. Dua minggu dipingit, Rania belum sempat bertemu muka dengan Adit. Semalam, dia dan Aditya—calon suaminya, sempat berbincang singkat di telepon. Sepertinya, ada sesuatu yang membuat calon suaminya itu gundah.

Adit sudah meyakinkan berkali-kali, bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Ia pun berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini hanya kegugupan yang biasa menyerang calon pengantin. Sayangnya, firasat Rania berkata lain.

"Jangan menunduk ya, Sayang," Perias menaikkan dagu Rania yang termenung memikirkan calon suaminya. Berkali ia melirik ponsel yang bergeming di atas meja rias.

Sanggul rambut Rania baru selesai saat sebuah pesan masuk ke ponselnya.

"Aditya" tampak di layar berpendar. Setangkas kilat Rania meraih dan membaca pesannya. Genggaman gadis itu mengerat, sontak setiap otot tubuhnya mengejang saat membaca pesan Aditya untuknya.

"Kamu pasti akan sangat membenciku. Maafkan aku, Rania..."

Membenci... Maafkan aku...

Rania membaca kalimat itu berkali-kali. Apa maksudnya? Apa maksud ucapan singkat Adit yang seketika membuat Rania yakin ada yang tidak beres.

"Jangan dulu bergerak, ya, Cantik..." perias yang keibuan itu berkata sambil menahan kesal karena Rania tidak bisa diminta diam.

Kali ini Rania tidak menghiraukan permintaannya. Gadis itu sontak berdiri dan berusaha menghubungi calon suaminya dengan gelisah dan gemetaran.

"Eh!? Mbak Rania...!" pekik Perias, saat kembang goyang di tangannya jatuh ke lantai.

Panggilan Rania tidak diangkat. Tidak sabar ibu jari Rania menekan layar ponsel berkali-kali untuk menghubungi Adit kembali namun tetap tidak diangkat. Malahan, sambungannya diputuskan.

"Dek, kenapa sih? Cepat duduk lagi! Kamu 'kan masih harus dirias!" perintah ibunya yang melirik melalui cermin rias.

Jantung Rania bergerak panik. Keriuhan di ruang rias bahkan tidak dapat mengalahkan keras dentum jantungnya. Ada yang tidak beres, dia tahu ada yang tidak beres.

Rania tidak menghiraukan himbauan ibunya dan menghubungi calon mama mertuanya.

"Ma, ini Rania. Kalian di mana? Adit bagaimana?"

"Ran..." Suasana di telepon terasa mencekam. Rania otomatis tidak mendengar suara apa pun selain suara lemah dan gelisah Tante Dewi.

"Ada apa?" bisik Renjana, mendekat kepada adiknya yang tampak gelisah.

"Ma, tolong jelaskan, Adit kenapa!? Dia baik-baik? Bisa aku bicara dengannya?" Rania memaksa, para kerabat yang melebah, suaranya kian rendah, dan mulai mendekat mengerubungi saat mendengar nada bicara Rania meninggi. Mereka turut mengendus ada yang tidak beres.

"Ran, tolong maafkan kami... A-Adit... Aditya menghilang," Tante Dewi mendesah berat.

"Apa...?" desis Rania, mendadak tuli karena rasa tidak mau percaya.

"Aditya pergi. Semalam dia masih ada, tapi tadi subuh... Adit menghilang. Kami sudah berusaha mencarinya, tapi tidak bisa menemukannya. Kami telpon tidak diangkat. Maafkan kami, Ran... Maafkan Adit ..." Ibu Adit terdengar tak kalah patah hati.

Rania tak sanggup lagi mendengarkan. Rasa dingin mendadak menjalari sekujur tubuhnya dengan cepat. Sekelilingnya mulai berputar. Itu sebelum semua mendadak gelap untuknya.

***

Dirga mengamati satu per satu penumpang yang baru saja turun dari pesawat asal Singapura. Tidak lama kemudian dia bisa melihat sosok Raka, kakaknya, yang tampak menawan dengan setelan blazer hitam eksklusif khas pebisnis. Di sampingnya, ada Padma, teman dekat Dirga sejak kuliah.

Padma sempat magang di perusahaan keluarga Dirga saat menyelesaikan kuliah. Setelah gadis itu sempat bekerja di sebuah perusahaan kecil di Bandung, Raka sendiri yang meminta Padma ke Jakarta untuk menjadi sekretarisnya. Sekarang sudah hampir dua tahun gadis itu bekerja sebagai sekretaris Raka yang merupakan Direktur Keuangan di salah satu perusahaan Kamajaya yang bergerak di bidang agrobisnis.

Tentu bukan tanpa alasan Dirga ada di sini menjemput kakaknya tapi karena ada Padma bersamanya. Dirga menggenggam erat sebuah kotak beledu dalam saku jaketnya.

Raka dan Padma menghampiri.

"Kamu terlihat sehat," Raka menepuk keras bahu Dirga seraya tersenyum puas saat melihat adiknya yang berrambut gondrong melewati kerah, agak tidak rapi seperti biasa.

Dirga hanya menanggapi dengan sepotong senyum seadanya. Dia segera beralih kepada Padma. Namun gadis itu tampak menghindari tatapan Dirga, membuatnya heran.

"Kami punya kabar gembira," Raka berkata, mencuri perhatian Dirga dari Padma yang masih menghindarinya. Tatapan Dirga segera beralih kepada Raka. Kata 'kami' yang sebetulnya menarik perhatian lelaki beralis tegas itu.

"Padma sudah setuju menerima lamaranku," terang Raka, meraih tangan Padma, yang sedari tadi coba disembunyikan di balik rok midinya, dan memperlihatkan selingkar cincin berlian di jari manis gadis berambut lurus sepunggung itu.

Sesaat Dirga merasa seakan tubuhnya terhempas dan membentur tembok keras.

"Lamaran?" Desisan Dirga antara tanya dan rasa tidak percaya.

Rongga dadanya sontak menyempit. Sakit

"Iya. Jangan dulu mengatakan apa pun pada Mama dan Papa ya, kami mau memberi kejutan. Semoga saja mereka juga sama terkejutnya sepertimu." Raka menyeringai lebar.

Dirga bungkam.

Terlebih lagi Padma.

***

A Sweet EscapeWhere stories live. Discover now