Bab. 3 : Awal di Masa Lalu

199 30 5
                                    


Dirga menyesap rokok dan mengurut dahi seraya mengamati suasana malam Sabtu salah satu daerah di Bandung. Suasananya masih ramai walaupun sudah menjelang tengah malam. Mengabaikan nasihat Padma, ia memutuskan menikmati kemeriahan malam ini sendirian ditemani para sejoli yang tengah memadu kasih.

Nyanyian pengamen ditingkahi denting peralatan makan dan memasak terdengar riuh di deretan tenda-tenda wisata kuliner. Sesekali asap rokok terhembus resah dari bibir Dirga. Jemari tangannya yang lain mengusap-usap rahangnya yang agak kasar karena belum dicukur. Sekali dua kali kerlingan beberapa gadis tertangkap mata namun enggan dia tanggapi.

Pikiran Dirga belum beranjak dari perempuan yang tadi dia antar, juga kondisi Raka saat ini. Sejujurnya, belakangan ada rasa berat setiap kali dia melihat kakaknya. Hal itu membuatnya kian pendiam dan canggung di dekat Raka. Ia yakin perasaan berat itu adalah rasa bersalah karena Dirga dan Padma sering menghabiskan waktu berdua.

Setahun lalu, saat Dirga mengetahui Padma menerima lamaran Raka, ia berpikir hubungan mereka yang tidak pernah benar-benar diresmikan, akhirnya pupus. Namun yang terjadi di luar bayangannya. Setelah sekian lama memendam perasaan tanpa mengungkapkan, hubungan mereka malah menjadi semakin nyata. Mereka akhirnya mengakui selama ini saling menaruh hati dan berharap.

Di kampus, Padma adalah gadis ayu yang ramah dan lemah lembut namun tidak banyak bicara. Sementara Dirga merupakan sosok mahasiswa pecinta alam yang mandiri dan aktif. Ia menyukai gunung, hewan, dan hutan. Tidak punya banyak teman akrab perempuan, tetapi saat Dirga dan Padma yang berbeda jurusan bertemu dalam satu wadah panitia penerimaan mahasiswa baru, Dirga menjadi dekat dengan pribadi Padma yang halus dan 'manis'.

Hanya saja, Dirga yang tidak suka menyatakan cinta, tak pernah memberinya kepastian. Ada kalanya Dirga menghilang untuk menjalankankan hobinya mendaki gunung ke berbagai negara, kontak keduanya pun menipis. Namun, jika ada waktu, Dirga dan Padma kembali menjalin hubungan yang kerap.

Dirga pikir, kesetiaan tanpa mengekang, adalah apa yang membuatnya menyayangi hubungan tanpa tanpa ikatannya dengan Padma. Toh, setahunya, Padma juga tak pernah memiliki lelaki lain yang dikasihinya.

Maka bukan salah seorang Padma jika gadis itu akhirnya memilih lelaki yang lebih berani memberikan kepastian seperti Raka. Karena bertahun menjelang, hubungan keduanya tidak lebih dari sekadar kedekatan istimewa tanpa status pasti yang disematkan pada satu sama lain.

Namun, di luar dugaan, mereka kian jujur dan terbuka pada perasaan masing-masing, justru setelah Padma menerima lamaran Raka di Singapura.

"Apa kamu marah dengan keputusanku?" Saat itu Padma sempat memberanikan diri bertanya di sebuah café milik Dirga dan temannya yang terletak di daerah Kemang. Itu adalah kesempatan pertama yang mereka miliki untuk berduaan setelah ia kembali dari Singapura.

"Kenapa aku harus marah?" tanggap Dirga datar.

Kontradiktif dengan ucapannya, kesan hangat sama sekali tidak tampak dari lelaki yang tengah menyesap rokoknya. Dirga bukan perokok berat, hanya ada dua hal yang membuatnya merokok, kedinginan di alam terbuka dan perasaan resah.

Jelas saat itu Padma bisa melihat alasan mana yang membuat Dirga merokok.

"K-karena kupikir... kita, sudah lama dekat dan... mungkin... kamu marah karena, karena aku tidak mengatakan apa-apa mengenai lamaran Mas Raka dan—"

"Kakak juga tidak mengatakan bahwa dia menyimpan perasaan kepadamu. Aku tidak marah kepadanya, jadi, aku juga tidak harus marah kepadamu." ucapnya sinis. Ia mematikan rokoknya dengan kejam dan beranjak. "Kurasa sudah cukup bicaranya, aku harus pergi."

"Dirga, tunggu! Dirga!" Padma menyusul Dirga ke tempat parkir. Lelaki itu tengah mengenakan helmnya.

Padma menghambur, menahan lengan Dirga yang hendak menaiki motornya.

"Dirga, tolong! Jangan pergi dulu!" Padma tidak tahan Dirga mendiamkannya, apalagi hendak meninggalkannya begitu saja. "Dir..." Padma merasakan matanya panas dan berkaca-kaca, lalu airmatanya jatuh begitu saja.

Air mata kejujuran yang mengatakan betapa dia takut kehilangan Dirga.

Dirga tertegun, mengamati Padma lekat dengan tatapan terkejut.

Gadis itu menangis lagi karenanya?

Di luar tampilannya yang mengesankan sikap tidak acuh, Dirga sebetulnya tidak pernah sanggup melihat airmata wanita, terutama ibunya dan... Padma.

"Dirga, aku tahu... Aku tahu aku salah tidak pernah terbuka mengenai kedekatanku dengan Mas Raka. Tapi aku—aku juga tidak mengira Mas Raka begitu serius kepadaku. A-aku tidak bisa menolaknya begitu saja. Dia sangat baik, begitu perhatian... Aku tidak bisa mencari alasan apa pun untuk menolaknya. Aku tidak sanggup menyakiti perasaannya," isak Padma yang berhati halus.

Dirga menunduk, menendang getir kerikil di ujung sepatunya.

"Selain itu, kamu—dan aku... kita, kita tidak pernah membicarakan masalah ini sebelumnya. Aku tidak tahu bahwa keputusanku itu akan menyakitimu—"

"Memang tidak," sanggah Dirga, berusaha tegas, tetapi dusta.

"Tapi itu menyakitiku..." lirih Padma, menatap Dirga penuh permohonan. "Saat melihatmu di bandara, aku langsung tahu aku sudah membuat kesalahan. Yang aku cintai bukan Mas Raka," suara Padma yang halus kali ini terdengar serak.

Dirga bisa merasakan jantungnya berdebar kuat karena cara Padma menatap dan berucap. Sesuatu yang Dirga tidak begitu pahami terasa memenuhi dadanya dan mengisi kepalanya hingga ia rasanya tidak sanggup berpikir.

"Yang kucintai adalah kamu, Dirga. Jika aku teringat bahwa aku akan kehilangan kamu, aku—a-aku..." Dadanya sesak oleh sesal dan kepedihan. Tidak sanggup lagi bicara.

Perlahan gadis itu mendekat dan menyurukkan wajahnya di dada bidang lelaki itu. Dirga masih bungkam. Seluruh kata tertelan rasa terkejutnya. Akhirnya kata itu terucap di antara mereka: Cinta.

Kata-kata yang mungkin telah lama mengendap dan tumbuh di hati keduanya namun tidak pernah mereka ungkapkan. Sekarang dia tahu, dia terlalu naif. Ia selalu berpikir bahwa kata-kata bukan hal penting, saat perbuatan telah mengungkapkan semua. Karena itulah Dirga yang tidak begitu pandai mengungkapkan perasaan berupa kata tidak pernah melontarkannya kepada Padma.

Dan karena sebuah kata yang terlambat diucapkan, Padma akhirnya menjadi tunangan Raka, kakaknya. Hanya perbuatan yang dapat Dirga gunakan menyampaikan isi hati.

Lelaki turun dari motor, dan balas memeluk Padma.

Dirga masih bisa mengingat jelas setiap adegan di hari itu. Bagaimana dia dan Padma memulai pengkhianatan mereka. Diam-diam sering bertukar pesan dan menghabiskan waktu bersama. Anehnya, jalinan asmaranya dan Padma memang terasa lebih membahagiakan. Mungkin karena adrenalinnya terpacu, mungkin karena mereka lega tidak jadi saling kehilangan, atau karena perasaan hatinya mendapat kejelasan.

Tetapi, kebahagiaan itu pupus setiap kali melihat Raka. Hatinya tercabik-cabik pengkhianatannya sendiri. Dirga benar-benar merasa bersalah dan muak pada dirinya. 

Padma tidak pernah sanggup memutus hubungan dengan Raka. Kasihan dan tidak tega selalu menjadi alasan. Pun, Dirga tidak bisa memaksa. Apakah jika Padma dan Raka putus, Dirga bisa dengan leluasa melenggang di hadapan keluarganya tanpa dosa? Haruskah dia menjadi pribadi yang lebih memuakkan dari saat ini?

Bahkan, berkali Dirga mengungkap maksud untuk mengakhiri semuanya, berkali pula Padma enggan setuju. Air mata Padma, selalu saja meluluhkan hati Dirga yang sebetulnya sekeras batu. Dirga tidak ingin berada di antara Padma dan Raka saat ini. Keadaan kakaknya sekarang membuat rasa bersalah kian membebaninya lebih berat lagi.

Dirga harus mencari cara menjauhi tunangan kakaknya itu.

Harus mencari cara agar hatinya tidak lagi mendambakan Padma.

A Sweet Escapeजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें