Bab 2. Tekad yang Luluh

189 32 9
                                    

"Pelan-pelan, Kak..." Dirga membantu kakaknya duduk di tempat tidur yang telah disiapkan.

Raka mengidap sakit jantung bawaan. Sudah beberapa kali ia menjalani operasi dan belakangan tiba-tiba kondisinya melemah lagi. Dokter menyarankan Raka beristirahat total di lingkungan yang lebih sejuk dan asri. Akhirnya, Raka memilih beristirahat di Bandung.

Lemah Raka menggerutu pahit tentang kondisinya. Belum genap tiga puluh tahun tetapi sudah seperti manula. Napasnya berat padahal dia hanya diam di atas kursi roda.

"Mas jangan bicara begitu," Padma berusaha membesarkan hati calon suaminya. "Nanti Mas pasti bisa pulih seperti dulu." Lembut ia mengusap tangan Raka. Pria itu membalas dengan decakan lemah.

Dirga mengamati pemandangan itu, menelan ludahnya pahit. "Biar aku ambilkan air untuk obat." Beranjak langkahnya menuju dapur.

Sejenak hanya terdengar suara air mengalir dari dispenser, saat sebuah teguran lemah lembut menyebutnya dari belakang. "Dirga..."

Dirga menoleh, mendapati sosok Padma yang matanya selalu teduh, kali ini tampak risau. Sosok langsing berparas ayu itu mendekat. Dirga mengalihkan pandangannya kembali.

"Biar aku saja yang bawakan airnya." Padma meraih gelas di tangan Dirga, menggenggam punggung telapak lelaki itu.

Hanya sepersekian detik berlalu dalam ketegangan.

"Biar aku saja!" Dirga mengentakkan tangannya dari genggaman Padma, bermaksud segera beranjak.

Padma dengan cepat menarik bagian belakang kaos lelaki 183 cm itu. "Dirga!" Dengan cepat gadis itu memeluk Dirga dan terisak di punggung tegap calon adik iparnya.

Dirga mengembuskan napas gusar. Hatinya tersayat pengkhianatannya sendiri. Dia bukan membenci Padma, melainkan membenci dirinya sendiri.

Hal yang wajar jika seorang Padma lebih bertumpu pada kepastian, sehingga lebih memilih Raka setahun yang lalu. Tetapi, hatinya yang tidak kunjung melupakan gadis itu, bahkan malah berkomplot mengkhianati kakaknya, adalah sisi Dirga yang paling dia benci dari dirinya sendiri.

"Padma, lepas!" desis Dirga tegas.

"Kenapa kamu bersikap dingin belakangan?" desak Padma tanpa melepas pelukannya. "Kumohon, beri tahu aku. Apa kesalahanku?"

"Tidak ada," tukas Dirga dingin. "Kamu tidak pernah salah. Semua salahku. Sekarang, lepaskan. Kakak sudah menunggu." Dirga melepas paksa lengan Padma dari pinggangnya.

***

"Untuk Den Raka, Bibi sudah buatkan pepes ayam, tetapi katanya masih belum mau makan," terang Bi Ayum sambil menuangkan air putih ke gelas-gelas di meja.

"Padma, coba nanti kamu bujuk Raka, kalau kamu yang bujuk pasti dia mau makan," kata Bu Puspa seraya melahap sop iga buatan pengurus rumah liburannya itu.

"Baik, Bu," Padma mengangguk pelan. Padma sudah diminta Raka mengambil cuti, agar bisa merawatnya selama di Bandung. Pria itu juga mengharapkan Padma berhenti kerja saat keduanya menikah sekitar enam bulan lagi, dan Padma sudah menyanggupinya.

"Dirga, Raka sudah hampir sebulan meninggalkan posisinya. Jadi bagaimana, kamu sudah mempertimbangkan untuk masuk ke jajaran direksi?" tanya Bayu Kamajaya yang tubuhnya berisi dan memiliki pembawaan tenang.

"Nanti kupikirkan," sahut Dirga, diam-diam menghela napas berat. Raka juga sudah mendesak Dirga untuk ikut mengisi bagian manajemen atas di perusahaan mereka. Ayah dan Kakaknya lebih banyak bekerja di belakang meja tapi Dirga lebih suka berada di lapangan, di alam bebas.

Namun tampaknya mau tidak mau tanggung jawab itu akhirnya datang juga. Sebagai anak lelaki terakhir di keluarga mereka, sudah selayaknya Dirga menerima tanggung jawab lebih. Sementara Agni, adik perempuan bungsunya, masih duduk di bangku SMA.

"Nanti aku mau melihat kondisi di Ciwidey. Minggu ini ada panen cabai dan sudah beberapa bulan belum sempat ke sana."

Selain itu, saat ini Dirga sangat memerlukan ruang dan waktu untuk memikirkan banyak hal. Tidak saja mengenai masalah perusahaan keluarganya, tapi juga mengenai dirinya dan Padma, juga Raka.

Saat hal itu terlintas di benak Dirga, ia dan Padma sempat saling bertukar tatap, lantas terburu-buru membuang muka ke arah piring masing-masing.

***

Saat masih kuliah di salah satu Institut terkemuka di Bogor, Dirga beberapa kali mengantar Padma ke rumahnya di Bandung, sekaligus bertemu teman-teman komunitas pecinta alam. Bu Puspa juga berasal dari salah satu kabupaten Bandung. Pak Bayu yang seorang pengusaha, jatuh cinta saat hendak membeli tanah di daerah bu Puspa. Akhirnya selain menjadi juragan di daerah Bu Puspa, Pak Bayu juga melamar serta memboyong Puspa ke Jakarta. Jadi, Bandung adalah rumah kedua keluarga Dirga.

"Mampir dulu, Dir?" tawar Padma halus, saat mobil Dirga terparkir di depan pagar rumah orangtua calon kakak iparnya itu.

"Sudah larut, salam saja untuk Papa dan Mama," jawab Dirga tanpa menolak sentuhan Padma di lengannya.

"Jangan keluyuran terus, nanti sakit. Sekarang kamu akan sangat diandalkan."

Mata bening gadis itu menatap cemas sungguh-sungguh.

Mata bening yang sering ditatap Dirga saat ia mencari ketenangan, namun kini mata yang sama kerap membuatnya gelisah. Dirga hanya mengangkat sebelah alisnya tanpa tanggapan berarti. Dia sibuk memvalidasi nilai moralnya sendiri. Sibuk membenarkan kelakuannya dan Padma setahun belakangan ini.

Padma menggoncang lengan kukuh Dirga. "Jangan diam saja..."

Lelaki jangkung itu menatap Padma dengan tatapan yang menyatakan betapa penting hal yang hendak diungkapkannya. Sontak raut wajah Padma berubah, seakan enggan mendengar.

"Kurasa kita tidak bisa begini terus," Lelaki gagah itu terdengar melemah.

Sentuhan Padma segera lepas dari lengan Dirga, membuang wajahnya dan tertawa kering. "Begini apa maksudmu?" Ia pura-pura lari dari kenyataan yang dia tahu pasti.

"Kita tidak bisa terus berhubungan seperti ini. Kita ini sedang berkhianat. Mengkhianati Kak Raka, orang yang paling kuhormati. Calon suamimu!"

Gadis itu tampak getir, suaranya bergetar. "Aku tidak mau kehilanganmu... Ta-tapi, Mas Raka..."

"Aku tidak memintamu memilih. Aku sudah membuat keputusan. Untuk kita. Kita harus menjaga jarak mulai sekarang."

Padma menoleh, menatap Dirga di tengah temaram lampu mobil SUV. Tetesan itu berkelip di antara kelopak matanya. Hati Dirga spontan mencelos. Dia mengeratkan rahang, berharap hal itu dapat menahan air mata Padma untuk menetes. Tapi tidak.

Bola-bola kesedihan yang seperti lampu itu meluruh di pipi mulus Padma.

"Aku membutuhkanmu, Dirga. Apalagi dengan kondisi Mas Raka sekarang. Aku lebih membutuhkanmu lagi. Kamu tahu sendiri, Mas Raka sering emosional sejak sakit. Kalau kamu membuangku, kurasa aku tidak akan sanggup lagi," isak Padma.

Dirga tidak mengerti kenapa dia tidak pernah sanggup menolak Padma. Bahkan saat sekarang gadis itu memeluknya seraya menangis, yang mampu Dirga lakukan hanya balas memeluknya.

***

A Sweet EscapeWhere stories live. Discover now