The Third Illusion

28 4 14
                                    

"One Day in The Forgotten Past"

***

Aku terbangun oleh suara dentangan jam yang begitu keras dan amat sangat mengganggu. Kuubah posisi tidurku yang semula miring ke kiri menjadi miring ke kanan. Selimutku kuangkat hingga menutupi seluruh tubuhku, termasuk kepala.

Dua, tiga, empat kali suara dentang itu terdengar nyaring membuatku menyerah. Aku bangun dan duduk di atas kasurku, mataku terbuka dan yang kudapati hanyalah kegelapan kamarku.

Sudah berapa kali suara dentangan itu berbunyi. Kenapa rasanya banyak sekali. Memangnya sekarang pukul berapa. Sebelas? Dua belas?

Aku mengacak-acak rambutku kesal. Jam ini selalu saja mengganggu. Tidak sekali dua kali, tapi berkali-kali. Para penghuni panti sudah sangat hafal tentang jam ini, akan tetapi kami tetap saja merasa terganggu dengan dentangan jamnya yang keras dan sangat tiba-tiba itu.

Aku keluar dari selimutku dan menjejaki lantai yang dingin. Kakiku mulai melangkah menuju keluar kamar. Pintu kamar kubuka perlahan agar yang lainnya tidak terbangun. Setiap kamar berisi empat kamar tidur bertingkat. Itu artinya ada delapan anak di setiap kamar.

Aku kemudian melangkah di antara gelapnya malam dengan kesunyian yang dipecahkan oleh irama malam yang memikat. Kuperhatikan taman panti yang memisahkan kamar perempuan dan laki-laki. Ada berbagai macam jenis tumbuhan di sana yang tumbuh mengelilingi kolam ikan koi.

Malam hari, suasana remang dengan gemericik air kolam, rasanya sedikit menyeramkan sekaligus menarikku. Aku tidak tahu kenapa, tapi setiap malam menyapa dan suasana menjadi sesunyi ini, aku selalu senang berlama-lama memperhatikan dan mendengar irama malam yang menenangkan.

Langkah kakiku terus membawaku menuju ruang utama yang ada di bagian depan gedung panti, dua buah tangga kunaiki dan kini kedua kakiku menapaki lantai ruang utama panti.

Tempat ini biasanya digunakan sebagai ruang tamu atau jika ada pengunjung panti. Tempat ini juga menjadi satu-satunya akses keluar masuk menuju panti, tentu jika kita tidak memperhitungkan jendela dan dinding tinggi yang bisa dipanjat.

Ruangan ini sangat sederhana. Hanya ada tiga sofa dengan sebuah meja kaca transparan di sisi timur belakang ruangan. Di bagian timur depannya ada sebuah meja yang bentuknya biasa kita temukan di meja informasi atau tempat kita meminjam buku di perpustakaan kota. Itu meja yang digunakan untuk menerima tamu, ada buku tamu di sana dengan beberapa buku lain yang tidak aku ketahui.

Lalu di sisi barat ruangan hanya berdiri sebuah jam. Itu jenis jam berdiri klasik yang terbuat dari kayu yang kuat. Kayu itu terukir dengan sangat cantik dan rumit. Ukirannya begitu detail sehingga tidak menyisakan satupun celah kosong yang tidak terisi oleh ukiran.

Jam berdiri itu berbentuk persegi panjang yang memanjang ke atas, di puncaknya seperti gambar genting rumah yang biasa Digambar oleh adik-adik pantiku. Bentuknya segitiga tanpa alas. Bentuk segitiga itu bertumpuk empat buah dengan masing-masing bentuk ukiran dan ukuran yang berbeda.

Di bawahnya, sebuah lingkaran kaca berisi angka satu sampai dua belas dalam tulisan romawi dan tiga buah jarum jam emas. Jam yang terpasang di sana terhubung dengan pendulum emas yang ada dibawahnya.

Pendulum itu selalu bergerak bolak-balik setiap satu detik. Lalu, saat jarum jam kedua terpanjang menunjuk angka dua belas, pendulum itu akan berbunyi sebanyak angka yang ditunjuk oleh jarum jam terpendek.

Aku berdiri tepat di depan jam berdiri itu. kupandangi jarum jam terpendek yang menunjukkan angka dua belas. Tengah malam. Aku memperhatikan jendela sebelah barat pintu utama. Terpikirkan untuk menyelinap ke padang bunga liar di ujung jalan setapak itu. Akan tetapi, dengan pengalaman terakhirku di tempat itu dan tanganku yang kini kosong tanpa senter membuatku semakin ragu untuk pergi ke sana.

Chaos IllusionTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon