The Thirteenth Chaos

23 3 4
                                    

"There Will Always Be Opportunities, No Matter How Small It"

***

Aku meletakkan tasku sebelum duduk di atas kursiku. Mataku melirik sekilas ke arah Nata yang sudah duduk di kursinya dan menulis sesuatu di bukunya. Pemikiranku kembali berkelana ketika aku menemani Ryana membeli kue beberapa hari yang lalu. Tidak ada yang aneh selain aku yang menemukan keberadaan Nata di toko kue itu.

Dia membeli kue tart kecil, sendirian. Aku yang berada di seberangnya hanya memperhatikan dalam diam. Ryana sibuk menepuk bahuku untuk bertanya kue mana yang cocok untuk hadiah.

Sebenarnya, sedikit mengejutkan melihat keberadaan pemuda itu di sana. Untuk ukuran seseorang yang tajam dan tidak peduli dengan orang lain, Nata cukup membuatku terkejut saat membeli kue tart.

Kira-kira, untuk siapa dia membeli kue itu?

Aku meletakkan kedua lenganku di atas meja, disusul kepalaku. Mari berpikir, masih ada sisa lima belas menit sebelum bel masuk. Aku harus bisa memikirkan sesuatu agar 'berbaikan' dengan Nata.

Kepalaku kembali berdiri tegak. Satu-satunya yang bisa kupikirkan hanyalah mengajaknya belajar bersama. Tapi, dia jelas akan menolak jika aku mengajukan permintaan itu untuk pelajaran sekolah dengan alasan ada banyak anak lain dan guru yang jauh lebih baik.

Sedangkan untuk Bahasa yang dia kuasai, dia menolaknya.

Ugh, sepertinya aku harus mulai berbuat nekat lagi untuk memaksanya mengajariku Bahasa Russia.

Tapi, sebenarnya apa yang sedang berusaha kamu perbaiki, Laila? Bukankah kamu bisa bertahan hingga saat ini meski hubunganmu dengan teman semejamu tidak terlalu baik?

Aku mulai menyalahkan otak dan pikiranku yang lagi-lagi saling menyerang. Otak dan hati memang tidaklah pernah selaras.

Sebenarnya, aku memang sudah mulai terbiasa dengan keadaan diam-mendiamkan ini. Perasaan untuk membiarkan saja keadaan ini sampai naik kelas pun mulai muncul. Hanya saja ... aku sangat penasaran kenapa dia tiba-tiba berubah jadi aneh begitu?!

Tidak-tidak. Ini bukan karena rasa penasaran saja. Semenjak kehadiran padang bunga itu tiba, rasa-rasanya hidupku jadi penuh misteri.

Pemikiran paling gila itu pernah muncul sebelumya, apa ada kemungkinan Nata itu juga hasil dari misteri padang bunga yang aku temui? Apalagi saat tahu jika rumahnya terhubung dengan padang bunga dan ajaibnya aku menemukannya tanpa sengaja ...

... atau mungkin memang disengaja.

Titik cahaya yang waktu itu kukejar membawaku pergi ke rumah Nata. Pasti ada hubungannya.

Aku yakin.

Karena itu, aku harus mencari tahu.

Aku menepuk bahu Nata, membuatnya menoleh ke arahku.

"Aku ... ingin memastikan lagi. Kamu sungguhan tidak bersedia mengajariku?" tanyaku pelan dan terdengar ragu.

Semoga saja dia tidak menilai nada suaraku yang terdengar ragu ini untuk menjadi acuannya dalam menerima atau menolak permintaanku.

Nata menutup bukunya dan menatapku tajam menilai. Aku sedikit mengalihkan pandanganku. Matanya itu memang menyeramkan jika sudah menatap menyelidik.

"Kau sungguh ingin belajar?" Pertanyaan itu membuatku refleks menatapnya lagi.

"Ha?" Aku yakin wajahku terlihat sangat bodoh saat ini.

Mata birunya menyipit, seolah berusaha membaca isi pikiranku saat ini. Namun, dia segera mengalihkan tatapannya kembali ke bukunya yang kini dia buka kembali.

Chaos IllusionOnde histórias criam vida. Descubra agora