Siksaan

15.7K 1.2K 66
                                    


"Apakah Dek Murni tau tentang luka lebam di badan Fajar?" tanya Ustad Khaidir.

"Saya tidak tau Pak Ustad," balasku.

Ustad Khaidir bercerita, suamiku mulai terlihat aneh, saat pertama kali menginjakan kaki di Mekkah.

"Fajar bilang kepalanya berat," ucap Ustad Khaidir.

"Padahal selama di pesawat dan perjalanan ke Mekkah, dia baik-baik aja," sambungnya.

Sampai tibalah Mas Fajar di hotel. Ia terus mengeluhkan kepalanya pusing. Ditambah penglihatannya yang mulai kabur. Ustad Khaidir selaku pemimpin jamaah, memintanya untuk beristirahat di kamar.

Saat malam tiba, kondisi Mas Fajar belum juga membaik. Badannya menggigil, disertai demam tinggi. Ustad Khaidir bergegas membawanya ke rumah sakit.

"Diagnosis awalnya, Fajar kena meningitis," ucap Ustad Khaidir.

"Tapi ... setelah dilakukan beberapa pemeriksaan. Dokter bilang tidak ada indikasi ke arah sana," sambungnya.

"Jadi Mas Fajar sakit apa, Pak Ustad?" tanyaku.

"Apa Fajar tidak menghubungi kamu waktu itu?" Ustad Khaidir malah balik bertanya.

"Mas Fajar sempat sekali menghubungi saya. Dia bilang cuman sakit biasa, mungkin karena kelelahan atau perbedaan cuaca," jelasku.

"Sebenarnya saya juga tidak tau itu penyakit apa. Bahkan sampai dia dibawa pulang pun, dokter masih belum mengetahui penyakitnya dengan jelas."

Ustad Khaidir hanya menemani Mas Fajar semalam di rumah sakit. Selebihnya ia harus memimpin jamaah untuk persiapan prosesi haji. Sehingga ia hanya mendapatkan kabar via telepon.

"Salah satu petugas asal Indonesia yang menjaga di sana bilang, kalau Fajar sering berteriak-teriak sendiri."

Setiap malam, Mas Fajar selalu berteriak kesakitan. Ia sempat bilang tubuhnya seperti terbakar. Panas sekali. Namun, pihak rumah sakit tidak tau penyebabnya. Hingga akhirnya ia harus diberi obat penenang.

Di sela-sela kesibukan Ustad Khaidir memimpin jamaah, ia menyempatkan diri untuk datang sebentar ke rumah sakit. Melihat bagaimana kondisi Mas Fajar yang sebenarnya.

"Demi Allah, saya kaget waktu liat badannya udah banyak lebam."

"Apa Mas Fajar cerita dari mana asal lebamnya, Pak Ustad?"

"Iya, dia cerita," balas Ustad Khaidir.

"Dia bilang setiap hari badannya dicambuk oleh orang berbadan tinggi besar dan berkulit hitam legam," sambungnya.

Aku tak mengerti maksud ucapan Ustad Khaidir. Orang berkulit hitam legam?

"Siapa orangnya?" tanyaku penasaran.

"Bukan orang, sepertinya lebih ke bangsa Jin."

"Bangsa Jin? Bagaimana bisa, Pak Ustad?"

"Beberapa kali, sosok tinggi besar itu datang ke mimpi Fajar sambil membawa cambuk berduri. Sosok itu sepertinya marah. Terus berteriak sambil mengayunkan cambuknya ke tubuh Fajar.

Setiap kali ayunan cambuknya mengenai tubuh Fajar. Rasa sakitnya dirasakan sampai ke dunia nyata. Bahkan sampai menimbulkan luka lebam di sekujur tubuhnya," jelas Ustad Khaidir.

"Pak ustad tolong saya. Sakit," lanjutnya menirukan ucapan Mas Fajar.

"Itu kata-kata yang sering terlontar dari mulutnya," lanjutnya lagi.

Sampai akhirnya di satu titik, Mas Fajar sudah tidak kuat lagi menerima siksaan dari Sosok itu. Kemudian, mengaku kalau uang yang digunakan untuk berhaji adalah uang haram. Hasil pesugihan.

Ustad Khaidir memberi saran kepada Mas Fajar untuk melakukan taubatan nasuha. Agar Allah mengampuni dosanya dan siksaan itu segera berakhir.

"Alhamdulillah, setelah melakukan taubatan nasuhan, tak lama kemudian kondisinya membaik. Fajar pun diperbolehkan pulang ke hotel. Tapi ...," ucap Ustad Khaidir.

"Banyak ujian yang harus dia hadapi selama prosesi haji," sambungnya.

"Ujian apa, Pak Ustad?"

Saat wukuf di Padang Arafah. Mas Fajar merasakan panas yang luar biasa. Saking panasnya, berkali-kali ia menyiramkan air ke kepalanya. Padahal saat itu suhu udara di sana tidak terlalu panas.

"Saya meminta dia untuk terus berdzikir dan memohon ampunan kepada Allah. Agar rasa panasnya itu hilang."

Aneh, setiap kali Mas Fajar menghentikan dzikirnya, rasa panas itu kembali muncul. Sehingga ia harus terus berdzikir sampai meninggalkan Arafah. Selanjutnya, rombongan bergerak ke arah Muzdalifah, untuk bermalam di sana.

"Malam itu di Muzdalifah dingin sekali, tapi hanya Fajar saja yang mengeluh kegerahan. Itu membuat beberapa jamaah lain heran," ucap Ustad Khaidir.

"Entah jam berapa, Fajar datang menghampiri saya. Dia bilang melihat wanita diseret. Jujur, saya kaget mendengarnya. Lalu, memintanya untuk menunjukan di mana dia melihat kejadian itu," sambungnya.

"Jawabannya waktu itu, dia bilang melihat di dalam mimpi," sambungnya lagi.

Mas Fajar sempat tertidur. Lalu bermimpi melihat Wanita tanpa busana diseret oleh dua orang berperawakan besar. Rambutnya ditarik. Saking kencangnya, beberapa kali tarikannya terlepas, diikuti kulit kepala yang terkelupas. Darahnya berceceran membasahi pasir yang berwarna coklat.

Wanita itu meronta-ronta dan terus menjerit kesakitan. Ia juga meminta ampun. Namun, dua orang berperawakan besar itu tak mengindahkannya.

"Apa Mas Fajar mengenal wanita itu?" tanyaku. Berharap itu bukan aku.

"Dia tidak mengenal wanita itu."

Setelah mendapatkan mimpi menyeramkan itu. Mas Fajar tidak berani tidur. Ia memilih berdzikir di samping Ustad Khaidir sampai waktu subuh. Setelah salat subuh dan mengumpulkan kerikil untuk lempar jumroh. Rombongan jamaah pun meninggalkan Muzdalifah, menuju Mina.

"Ujian yang dihadapi Fajar tidak sampai di sana saja, Dek Murni," ucap Ustad Khaidir.

"Saat melempar jumroh aqobah, dia nyaris kehilangan nyawanya," sambungnya.

"Kehilangan nyawa!" Lagi-lagi aku dibuat terkejut dengan ucapan Ustad Khaidir.

"Iya, jika telat beberapa menit mungkin dia tidak akan kembali lagi ke Indonesia."

Hatiku terasa sakit. Bagaimana mungkin Mas Fajar tidak menceritakan kejadian itu padaku. Apalagi itu menyangkut nyawanya.

BERSAMBUNG

Berhaji Dengan Uang PesugihanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora