Tumbuh Seribu

9 5 3
                                    

"Kalau dipikir-pikir lagi, dengan kekuasaan ayah Bela Duck, kempret itu bisa sekolah di SMP lebih bagus di kota besar. Mau nyogok atau sabotase nilai bisa dengan mudah dilakukan. Bahkan keluarga Pak Bastian juga mau-maunya tinggal di lingkungan pinggiran, heran gue," ucap Wayan membuat ketiga temannya berhenti berjalan.

Banyak murid lain berjalan melewati Wayan, Komar, Baskoro, dan Panji yang berdiri di sisi gerbang sekolah. Tak sedikit yang melirik tak suka pada Panji karena kejadian beberapa waktu lalu. Bel masuk masih cukup lama, jadi mereka bisa berjalan santai.

"Halah, itu biasa. Apa yang biasa dilakukan calon pemimpin untuk bisa terpilih?" kata Panji dengan nada mengejek.

"Ca-cari nama!"

Panji mengacungkan 2 jempol pada Komar yang hanya mesem-mesem.

"Wah ... totalitas sekali," puji Baskoro dengan wajah datar.

TIIIN TIIIIN!

Keempatnya terkejut bukan main saat mendengar klakson sebuah mobil. Jalanan sempit karena banyak anak sekolah, ditambah lagi dengan adanya Wayan dan kawan-kawannya yang berdiri seenaknya.

Orang yang menyetir mobil mendelik marah pada mereka. Tapi dengan percaya diri, modal wajah tampan pas-pasan, Panji mengedip sebelah mata sambil melontarkan senyum manis pada perempuan yang duduk di bangku belakang mobil. Karena melihat perempuan yang mudah tersipu adalah hobi Panji.

Seketika tamparan tangan besar nan keras Baskoro melayang mengenai belakang kepala Panji.

"Anjir! Sakit, Baskom!"

"Lagi?! Nggak ada kapoknya lu, dasar Panci! Bucinin orang lagi gue colok mata lu!" Wayan benar-benar marah kali ini.

"Ampun, fighter."

OoO

Hai, ini benar nomornya Panji?

Panji mengernyit melihat pesan dari nomor yang tidak dikenal. Lalu menunjukkan layar ponselnya tepat di depan mata Baskoro yang duduk di sampingnya.

"Dari tulisannya, gue tebak dia perempuan," ucap Panji dengan bangga.

Wayan yang sedang makan nasi rames dengan tangan langsung merebut ponsel Panji karena penasaran.

"Hei! Singkirkan tangan berminyak lu dari HP gue, anjir!"

Komar yang juga melihat pesan itu merasa tidak asing pada nomornya, ia langsung mengecek di kontak ponsel.

"Coba gue balas, ah. Hehe."

Iya, siapa, ya?

"Njirr, muntah gue lihat tulisan lu." Wayan memperagakan ekspresi muntah.

"D-dia Sheilda. A-anak SMP 2."

"Itu anak yang tadi pagi," Wayan menyahut santai setelah menelan telur goreng.

"Yang di mobil? Wah ..., gue senyumin dikit udah meleleh aja dia, canggih. Hahahahahaa!"

"A-anjir! Jangan m-main-main sama anak P-pak Ardi."

"Tahu dari mana lu, Kompor?"

Komar memperlihatkan daftar anggota sebuah grup di ponselnya pada Panji.

"Grup apaan itu?"

"Mm ... S-semacam haters p-pemerintah."

"Banyak sekali grup aneh bin tidak jelas di HP lu," ujar Panji melihat daftar pesan grup.

Komar langsung merebut kembali ponselnya dengan wajah kesal.


"Pak Ardi itu ... CEO perusahaan tambang di wilayah sini," celetuk Baskoro santai sambil menyedot es tehnya.

"Kok cuma gue yang nggak tahu apa-apa." Panji menyilangkan kedua tangannya di dada.

Baskoro menunjukkan sebuah artikel koran yang baru dibacanya, ia melingkari bagian yang membahas perusahaan milik orang tua Sheilda itu dengan pulpen.

Kluk

Aku Sheilda. Bisa kita bertemu? Sepertinya kamu orang yang lucu.

Panji sedikit membelalak membaca pesan dari Sheilda. "Wah, sepertinya gue udah memberi kesan pertama yang bagus, nih."

Ketiga temannya langsung mencondongkan kepala ke depan ponsel Panji.

"Nggak boleh. Tobatlah kau, wahai Panci." Wayan menggeleng mantap.

OoO

Namanya panci kalau sudah rombeng, sulit diperbaiki. Begitu pula Panji, kalau bengalnya kambuh, sulit dinasihati.

Walaupun tidak bertemu langsung, Panji masih selalu nekat membalas pesan Sheilda dengan kata-kata manis, mendengar curhatan, seolah-olah sudah memberi harapan.

Ia merasa nyaman saat berbagi nasib dengan perempuan itu, berbeda saat ia menjalin hubungan dengan perempuan-perempuan sebelumnya. Walaupun terlahir sebagai orang kaya, tapi Sheilda bisa mengerti kehidupan orang bawah, juga memahami benar apa yang dirasakan Panji sebagai anak yang tidak terlalu dekat dengan orang tua.

Namun, Wayan sudah kerap menjelaskan betapa jauh perbedaan kasta antara Panji dan Sheilda, juga melarang keras bergaul dengan orang-orang yang memiliki kuasa besar.

'Ngaca aja ... kita orang kecil, tidak usah aneh-aneh', ucapan Baskoro suatu hari yang membuat Panji sedikit menyadari keadaan diri sendiri. Kalau ada masalah lagi seperti kasus Bela Duck, dia tidak bisa melakukan apa-apa karena ia hanya orang yang berkasta rendah di lingkungan.

OoO

"Meninggal karena overdosis narkoba?! Siapa?!"

BengalWhere stories live. Discover now