Sheilda

8 4 2
                                    

Berangkat pagi lalu duduk manis di bangku taman sambil menikmati gosipan yang masih hangat adalah kenikmatan tersendiri bagi sebagian orang di SMP itu.

Wayan tentu tidak masuk ke dalam kelompok itu, karena dia bukan tipe penikmat gibah. Namun, gibahan pagi itu terdengar menarik, jarang-jarang bahasan mereka sedikit berkualitas.

Wayan menghentikan langkahnya tepat di depan para penggosip. "Meninggal karena overdosis narkoba?! Siapa?!"

Suara kerasnya membuat beberapa perempuan itu berjengit kaget.

"Anak SMP 2," ucap salah satu perempuan itu ketus.

"Siapa?"

"Tumben kamu tertarik. Katanya sih, bernama Sheilda, anak yang juara 2 lomba seni tari tingkat kabupaten itu."

Wayan langsung berlari ke kelas. Jika Panji tahu, temannya itu bisa seperti anak kucing lupa rumah.

Sampai di kelas, Wayan mengatur napas setelah berlari cepat. Benar saja, Panji duduk di bangkunya dengan kepala tertunduk lesu, Komar dan Baskoro berdiri di sebelahnya, menepuk pelan bahu Panji berulang kali.

Wayan berjalan mendekati temannya yang sedang frustrasi. Walaupun biasanya Panji hanya main-main, tapi jika hatinya sudah terluka, dia bisa menjadi sangat terpuruk.

Ia tahu kalau akhir-akhir ini perempuan bernama Sheilda itu sudah menyentuh tepat di titik terdalam hati Panji.

Wayan mengelus pundak Panji pelan, mencoba menyemangati temannya itu. Tak menyangka laki-laki itu bisa tumbang semudah itu hanya karena gadis yang ia sukai.

"Padahal semalam dia masih membahas tentang tikus dengan ceria," gumam Panji pelan.

Mendengar gumaman serak itu, Wayan langsung mengangkat kepala Panji untuk melihat wajahnya.

"Astagah! Sudahlah, Panci. Gue bahkan lupa kapan terakhir lihat lu nangis kayak gini."

Panji mengusap air matanya dengan kasar. "Gue yakin, Sheilda ga bakal ngonsumsi narkoba sampai overdosis gitu. Dia emang tidak berhubungan baik dengan orang tuanya, tapi tidak sampai frustrasi sampai bunuh diri, dia masih punya semangat untuk masa depannya."

"Oke, lalu apa? Ingat, kita bukan polisi ataupun detektif, kita hanya anak sekolah yang aljabar aja masih payah."

Panji kembali lesu, lalu ia teringat dengan Tank  yang beberapa waktu lalu membantunya membersihkan nama. "Bagaimana kalau minta bantuan Tank?"

"Tidak, kita bahkan tidak tahu siapa dia. Tidak ada yang tahu kalau sewaktu-waktu Tank tiba-tiba minta bayaran. Mungkin saja waktu itu dia hanya kasihan padamu, jangan minta lebih."

"Aku hanya ... kasihan pada Sheilda, dia orang yang baik, sudah mati pun masih ternistakan, jika saja kita bisa membersihkan namanya."

"Pan, bapaknya Sheilda orang kaya, mau itu kasus buatan atau beneran, biar mereka urus sendiri, kita fokus saja pada nasib kita masing-masing." Wayan berbalik lalu berjalan ke tempat duduknya.

Sebelum mencapai tempat duduknya, Wayan kembali berbalik menghadap Panji. "Hapus juga pesan-pesan lu dengan Sheilda, jangan sampai dituduh jadi tersangka lagi."

OoO

Setelah kejadian kemarin, Panji memang masih gelisah dan sering melewatkan main game bersama, tapi sudah tidak lagi merengek minta ikut mencari tahu sebab kematian Sheilda.

Tapi hari-hari berikutnya, penampilan Panji semakin suram, tidak bersemangat melakukan aktivitas apa pun, seperti kehilangan cahaya kehidupan.

Wayan, Baskoro, dan Komar berdiri menyandar pada tembok belakang kelas, menatap Panji yang duduk melamun.

"A-apa yang harus ki-kita lakukan? K-kasihan Panji." Komar menatap sedih sahabatnya.

"Ya ampun, parah ini. Panji belum pernah sefrustrasi itu sebelumnya." Wayan berjalan mendekati Panji diikuti Baskoro dan Komar.

Panji menengok sekilas lalu kembali menatap kosong papan tulis.

"Sudah hampir seminggu, tidak ada kabar lagi tentang kematian Sheilda, kematiannya masih dianggap overdosis narkoba, itu buruk," jelas Panji masih dengan tatapan kosong.

"Aku bantu," ucap Baskoro tiba-tiba yang membuat Wayan membulatkan mata seketika.

"Benarkah?" Sorot mata Panji kembali menyala seperti mendapat harapan dan dukungan.

"A-aku juga ikut ba-bantu!" seru Komar dengan senyum lebar.

Wayan hanya bisa menghela napas. "Oke, tapi janji dulu, setelah ini jangan lagi asal tebar pesona pada perempuan. Kalau diulangi lagi, detik itu juga matamu akan kucolok sungguhan. Kalau memang benar-benar menyukai perempuan, kenalin dulu ke gue."

"Sepakat!"

Senyum Panji semakin lebar, hampir saja berdiri lalu memeluk Wayan, tapi langsung didudukkan lagi oleh Baskoro.

"Tutup mulut lu, nanti gigi lu kering," sahut Wayan acuh tak acuh.

OoO

"Hm, sudah saatnya, ya?"

Seorang pria nampak pindah ke tempat duduk pribadinya. Ia mengeluarkan selembar kertas dan pulpen dari laci, lalu menulis sesuatu dengan pulpen mahalnya.

Khusus untuk saat seperti inilah pulpen itu digunakan. Ia sedang melakukan sesuatu yang sangat istimewa, tentu saja harus menggunakan barang yang istimewa juga.

OoO

Wayan kembali menerima sebuah paket, lagi-lagi dari Tank. Ia sudah lebih tahu rentang menanggapi kurir antar paket, kurir biasanya tidak dipersilakan masuk lalu diberi minuman dan makanan ringan. Tapi karena paket itu dari Tank, ia mengajak kurir itu masuk  lagi ke dalam rumah dan menjamunya untuk sekadar mengorek informasi.

"Tidak tahu, Dek. Bapak tidak tahu siapa pengirimnya, karena yang mengantarkan paket yang ini dan yang kemarin beda orang, kata staf bagian yang melayani."

Wayan memasang ekspresi kecewa.

Вы достигли последнюю опубликованную часть.

⏰ Недавно обновлено: Jun 18, 2021 ⏰

Добавте эту историю в библиотеку и получите уведомление, когда следующия часть будет доступна!

BengalМесто, где живут истории. Откройте их для себя