Bab 3

6.3K 116 0
                                    

Liam Kavindra--apa dia akan mengingat trip ini setelah kembali ke Jakarta? Hal itu yang dipikirkan Diva saat menaiki MRT bersama Liam dengan tujuan tidak jelas. Langit gelap di Singapore  yang dipenuhi bintang menjadi saksi ketidakwarasan Diva Queensha. Pura-pura tidak melihat cincin di jemari Liam dia memegang lengan Liam untuk menjaga keseimbangannya berdiri sambil mendengarkan cerita Liam. Soal kejenuhannya akan aktivitas yang monoton yang kadang ingin membuatnya lari.

Diva menjadi pendengar yang baik untuk Liam, asal jangan cerita tentang istrinya saja. Dia bersyukur bisa ikut ke Singapure walaupun trip kerjaan karena perjalanan ini membuat hubungannya dengan Liam semakin dekat.

Setiap dekat dengan Liam seluruh saraf-saraf Diva bangun.

Diva tidak mau seperti album foto yang semakin lama akan pudar dalam ingatannya Liam, "Pak,misalnya aku duluan mati, gimana?" tanya Diva, setelah beberapa menit mereka hening.

"Kamu kenapa, ada sakit? Kok mati duluan?" Liam menertawakan pertanyaan Diva.

Ya mungkin aja gue mati dibunuh sama istri lo gara mencintai suaminya.

"Aku kan cuma nanya. Tinggal jawab aja sih." Ucap Diva.

"Kamu itu udah besar, wanita dewasa bukan anak remaja. Cari pertanyaan yang berkharisma  dong. Ini malah ngomongin kematian," kata Liam. Mereka berdiri di posisi dekat pintu, satu tangan Liam memegang pegangan di atas langit MRT, sedangkan tangan Diva mulai turun ke pinggang Liam.

Melihat wajah Liam sedekat ini, Diva akui Liam memiliki ketampanan seperti Sultan di masa kerajaan. Dan Diva rela tinggal di Harem menjadi selir Liam, walaupun wajah Liam menua penuh kerutan dan rambutnya memutih dia akan tetap mengagumi pria ini.

"Pada intinya Bapak inget aku apa gak, misalnya aku udah gak ada?"  Diva penasaran ingin mendengar  jawaban Liam.

Telunjuk Liam mengelus hidungnya, berpikir sejenak. "Saya tuker balik pertanyaan itu ke kamu, gimana?" tanya Liam.

Diva tersenyum. "Aku akan inget terus sama Pak Liam Kavindra. Setiap jam, setiap detik. Soalnya ingatan cewek lebih tajam daripada cowok."

Diva Queensha ini benar-benar patner yang bisa mainin debaran jantungnya. Liam tidak akan lupa tampang Diva saat mengucapkan hal itu--penuh penghayatan.

Akhirnya mereka kulineran di pusat jajanan Singapore kaki lima. Butuh kesabaran untuk membeli makanan karena antrian panjang. Banyak makanan yang mereka beli. Jangan pikir makan di pinggiran akan murah, kalau dirupiahin seharga dengan handphone seharga lima jutaan.

Cara makan Diva rada sinting sih, tapi tidak kelihatan dengan postur tubuhnya yang kurus itu. Diva lebih suka makan dari pada shopping. Saat mereka kehabisan makanan, Diva masih belum puas hingga menyeret Liam untuk mencari makanan yang lain. Liam kehabisan kata-kata ketika mulut Diva masih penuh makanan malah dimasukkan lagi sama pastel.

"Saingan Magdalena anak vlog kuliner kamu," komentar Liam.  Rasanya Diva tidak bosan sampai dia tidak ada niat kembali ke hotel. Padahal sudah hampir subuh.

Pukul tiga subuh akhirnya Liam berhasil membujuk Diva untuk kembali ke hotel. Namun di perjalanan perut Diva mual, dadanya sesak hampir tak bisa bernafas.

"Pak Liam, aku gak kuat deh mau jalan lagi, perutku sakit. Mau muntah." Ringis Diva mengelus perutnya. Liam yang super jutek itu menggeleng setelah menghela nafas.

"Kamu yang salah, makan gak pake jeda. Tetap harus dipaksa jalan biar kita gak nginap dipinggir jalan," kata Liam menahan lengan Diva yang mulai lemas. Harusnya Diva takut melihat Liam mulai kesal.

"Gak kuat."

"Kita cari klinik deh."

"Jam segini mana ada klinik, kalo ada juga mau dicari dimana," rengek Diva dengan wajah pucat. Liam yang ikutan panik juga bingung, "Cari hotel dekat sini aja ya."

Secret Afair (17+) Where stories live. Discover now