18 • Your Wish, My Wish

94 30 9
                                    

Rasa malu dan tahu diri sudah lenyap dalam diri Taehyun

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

Rasa malu dan tahu diri sudah lenyap dalam diri Taehyun. Sebab, hanya kekhawatiran pada sang ibu yang terus menginvasi benaknya. Keputusan angkat kaki dari rumah lalu kini tungkainya menginjak kembali kediaman yang telah ditinggalkannya seperti menggigit lidah sendiri. Persetan akan semua itu, yang ia pedulikan hanya sang ibu tengah terbaring hasai di atas ranjang. Sehari saja tak mendapati wajah sang ibu sudah tirus, perubahan yang terlalu cepat. Kantung matanya pun bengkak dan hitam. Kalau saja beliau menyingkapkan matanya, pasti tampak sayu.

Selama Taehyun kembali ke kediaman, netranya tak menangkap eksistensi sang ayah. Meski begitu, ia masih peduli di mana gerangankah beliau. Hingga akhirya ia sadar, sebelah sudut bibirnya pun terangkat. Mana mungkin sang ayah yang gila kerja peduli dengan kondisi ibu. Tangannya saja ringan tanpa ragu memukul beliau. Jadi, mana mungkin ia peduli dan berada di sisinya. Bagi Tuan Kang, reputasinyalah yang paling penting. Keluarga yang harusnya dianggap bagian paling krusial dalam hidup seseorang, tampaknya dianggap masa bodoh.

Taehyun kembali menatap lekuk paras sang ibunda. Rasa bersalah menjalar dalam dirinya. Berbagai perandaian berkelibat. Jikalau ia tak membangkang demi mempertahankan ego alih-alih hak kebebasan, mungkin ibu takkan tersakiti luar dan dalam. Rasanya keputusan mengakhiri hidup tempo lalu kembali merayu. Bahkan sampai menyalahkan Tuhan, orang tua, dan dirinya kenapa ia harus dilahirkan pun kembali dinyatakan. Mengapa aku dilahirkan kalau semua disusahkan karena diriku? Begitu raungnya dalam hati.

Tungkainya tak mampu menopang tubuh bagian atas sampai ia harus ambruk bersimpuh di lantai. Lengannya hendak meraih lengan lemah sang ibu pun tak sampai. Ia hanya mengernyit kesakitan. Bukan sakit fisik, melainkan sakit hatinya bagai tersayat. Likuidnya pun mendongsok pelupuk mata, ia tak sanggup menahannya. Memang benar kalau air mata pria hanya terjadi saat perasaannya terlampau sangat dalam. Taehyun tidak cengeng, ia hanya tengah mengekspresikan rasa laranya, ia hanya mencoba meminimalkan rasa sakitnya. Hanya itu. Sosok Taehyun yang dingin hatinya pun mencair. Jika saja ayah tahu, mungkin bentakan keras bahwa ia cengeng pasti memekakkan rungu dan tak lantas menyayat hati.

"Putraku."

Sapaan lembut menyapa rungunya, selembut buaian dari lengan lembut sang ibu mengusap rahangnya. Kala menatap sendu wajah sang ibu yang tatapannya sayu, tetapi masih hangat itu kontan membuat likuidnya berhenti mengalir. Lekas ia mengusap kasar pipinya yang basah.

"Kau pulang, Nak?"

Nyonya Kang tersenyum. Kendati seperti dipaksakan karena lemah, tetapi sebenarnya senyuman itu tulus dan hangat.

"Aku baik-baik saja, Nak," imbuhnya. Beliau tahu apa yang kini ada di pikiran putranya itu, ia tak perlu sebuah pertanyaan terlontar lebih dulu dari ceruk bibir putranya. Hanya menatap bayi besar tampannya saja sudah langsung tahu dan menjawab pertanyaan yang mengganggu benak putranya.

"Ibu, maafkan aku. Semua ini karena aku yang egois. Jika saja aku terus menuruti perkataan ayah, mungkin ibu takkan—"

"Tak apa, asalkan kau bahagia," tukas sang ibu.

Tidak, bukan begitu. Kalau melihat ibunya terus tersakiti itu hanya membuatnya tersakiti juga. Dia tak bahagia, percuma.

"Mimpimu itu mimpimu. Itu hakmu, kau berhak bahagia kalau mimpimu tercapai. Maafkan ibu, seharusnya ibu tahu mimpimu dan tahu bakatmu dari dulu," Nyonya Kang mengambil napas terlebih dulu. Dia sebenarnya tak ada energi guna bercerak sepatah katapun. Namun, kehadiran putranya ini memberikan energi tersendiri baginya. "Ibu sebenarnya tahu kau sudah masuk agensi dan sering bolos les di akademi. Ibu mencoba menyembunyikannya, tetapi Ibu gagal. Jadi, tak apa, biar Ibu yang menanggungnya, kau hanya perlu wujudkan mimpimu dan buktikan pada ayahmu."

"T-tapi, Bu …."

"Taehyunnie," Heeseung menyela. Ia akhirnya mendekat setelah hanya memandang adegan pilu adik dan ibunya itu dari ambang pintu. Lengannya meraih pundak sang adik. "Biarkan aku membantumu juga. Biarkanlah aku bertindak sebagai seorang kakak. Aku akan mencoba bicara dengan ayah. Aku pun akan menjaga ibu."

Taehyun hanya bergeming. Rasa benci, ralat, mungkin rasa kesalnya pada sang kakak masih terus saja menyelimuti. Namun, tampaknya perasaan itu perlahan terkikis dengan ucapan yang tak lantas mengejawantah sebuah janji.

"Dengar, Taehyunnie. Aku tahu sebelum ini aku pun salah. Aku hanya diam saja melihat semua kekacauan ini. Kumohon maafkan aku dan biarkan aku memperbaiki semua ini," lanjutnya. Ia menatap ke dalam manik jelaga sang adik, mencoba kembali mengambil hatinya. "Dengar, wujudkan mimpiku yang tak terwujud. Sejujurnya, mimpimu itu mimpiku dulu. Biarkan keinginan ayah sudah terwujud olehku. Aku tak mau kau seperti diriku yang tak bebas."

Begitu mendengar kenyataan yang terlontar dari bilah bibir sang kakak benar-benar mengejutkan. Dia tak tahu selama ini kakaknya pun memiliki mimpi yang sama. Ia kira semua pencapaian kakaknya itu adalah keinginannya. Ternyata Heeseung pun berada di bawah telunjuk sang ayah. Lantas apakah Taehyun sebenarnya salah telah membenci sang kakak yang sama-sama terjerat? Sial, ini semua hanya membuatnya merasa bersalah, bukan malah menjadi terasa lega.

Namun, harapan demi harapan dari sekitar agar ia mewujudkan mimpinya semakin bertambah. Keinginan imbesil itu kembali lenyap. Benar, ia sudah berusaha keras sampai sejauh ini. Mengapa usahanya harus sia-sia karena niat bodoh yang kembali untuk menentang takdir Tuhan? Kini ia tak merasa sendirian seperti dulu. Ia memiliki banyak orang yang berada di sisinya yang memiliki harapan pada dirinya. Ibu, Kak Heeseung, Kak Yoongi, teman-teman, dan YoonA tentunya. Ya, gadis itu yang membawanya dari awal sampai ia bisa ke titik saat ini.[]

[190621]

—luv, ra

anesthesie • Kang TaehyunWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu