puncak

23 5 1
                                    


  Malam telah tiba.

  Rinjani menjelma jadi manusia paling malu sedunia saat mengetahui dirinya tidak bisa apa-apa, hanya bisa memperhatikan teman-temannya yang memasang tenda, memasak, juga bernyanyi.

  Yang hanya Rinjani lakukan dengan sungguh-sungguh adalah mendengarkan ketika leluhur kampung ini mendatangi mereka di puncak dan menyampaikan tentang apa-apa saja yang ada di sini.

"Vanessa, Rara. Nggak apa-apa ya, gue cuma bantu cuci piring. Gue nggak bisa apa-apa, memalukan banget ya?"

"Nggak dong. Gue malah bersyukur banget ada yang mau bantu cuci piring. Makasih ya, Rinjani." Rara tersenyum, menepuk bahu Rinjani.

"Ke sana yuk, api unggun-nya udah nyala." Vanessa yang mengajak, mereka pun berkumpul dengan cowok-cowok yang sudah memangku gitar.

"Daffa, sama Kang Farhan nggak ikut, Ra?" tanya Andreas sambil menyeruput kopinya.

"Nggak, biasa, sibuk."

"Sedih nggak sih kehilangan sahabat?" Garang bertanya sambil mengigit kentang goreng milik Vanessa yang sudah dirampok.

Rara tertawa. "No, itu bukan kehilangan, itu bertumbuh. Fase di mana semua orang bertumbuh dan keadaannya nggak bisa sama lagi kayak dulu."

  Semua mulai menyimak ucapan Rara dengan serius, tidak mau terlewat sepatah kata pun.

"Ya, semua orang pasti pernah mengalami. Termasuk gue, gue sahabatan sama mereka, sama Heru juga saat kita sama-sama masih kecil, sama-sama kepalanya botak, sekecil itu. Sampai sekarang gue udah kuliah. Nggak bisa dong gue maksa sahabat gue untuk terus sama gue, harus tetep mirip sama gue, sama-sama botak, IPK harus sama. Ya nggak dong, itu kan hidup mereka, itu namanya bertumbuh, saat kita tahu kalau hidup bukan cuma satu arah.

"Contoh yang ada saat ini, ya kampung ini. Tergerus oleh modernisasi, terbentur oleh segala kecanggihan, mereka tunduk, tapi mereka tetep percaya kan sama adat turun-temurun? Itu, namanya bertumbuh. Kita jadi tahu kalau hidup perlu banyak rasa, kayak kopi." Rara kembali tertawa, memukul pelan bahu Heru.

"Kayak di rumah gue, acara 17-an udah nggak seru kayak dulu, sekarang lombanya lomba main TikTok," adu Dhea.

"Nah, yang susah dari bertumbuh itu, nggak bisa mengulang lagi kenangan masa lalu, karna semakin kita bertumbuh, ya zaman juga berkembang, udah nggak bisa sama lagi."

"Itu, Ra. Kadang gue suka jenuh banget sama hp, sama teknologi. Kadang kesel aja lihat berita yang bikin geleng-geleng, kadang kesel liat tugas seabrek, pengen sebentar aja lepas, gitu," rengek Vanessa, hilal di sebelahnya sudah siap dengan apa pun yang terjadi, mengingat Vanessa yang moody-an.

"Itu alasan kita selalu berusaha menyambangi hutan, menyambangi gunung. Karna sebagian diri kita butuh itu. Butuh tenang, butuh kesendirian, butuh berebut oksigen dengan tumbuhan, butuh alam." Andreas menghela napas, tersenyum, "seneng banget gue liat kalian mau gabung, masih mau jatuh cinta sama alam, tapi gue nggak tanggung jawab kalau kalian rindu."

"Kita memang nggak terlalu melek soal kemajuan zaman, yah, kita apa adanya aja. Mobil tua, sukanya ke hutan, kita hidup di zaman apa?" canda Rimba, yang berhasil menyentil Rinjani.

"Udah-udah, kita kayak rapat BPUPKI kalau kayak gini. Ayo, nyanyi," suruh Rara.

"Mau lagu apa nih adik-adik? Kak Seto punya pilihan lagu, mau dangdut atau mau dangdut?" Garang bertanya dengan mukanya yang menggelikan.

"Loh, nggak dikasih pilihan kalau gitu!"

"Dikasih, dong bebeb Dhea. Dangdut atau dangdut?"

"Itu ajalah si Sedap Betul!" kesal Andreas, "cepet, Rim!"

Rimba & Rinjani Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang