6

461 57 1
                                    

Niken menghentak kakinya menyusuri koridor menuju ruangan manajer umum. Entah karena apa kini mbak Amel lebih sering menugaskannya untuk melayang buana kemana-mana. Padahal masih ada Nia yang biasanya bertugas demikian.

Mbak Amel sudah dengar langsung perihal kontraknya yang tidak diperpanjang lagi itu. Dia hanya menghela nafas. Dia paham direktur terkadang main aturannya sendiri, sedangkan Niken memberinya alasan kuat.

Bukan maksud mbak Amel mangkir dari tugasnya, tapi dia sendiri juga sibuk. Entah mengapa, memang musim kawin dan beranak atau apa. Tapi serentak puluhan karyawan dari berbagai divisi memilih tidak memperpanjang kontrak mereka dengan alasan menikah dan lahiran.

"Hahhh!! Kan ada cuti!! Mereka sangat konyol seolah tak butuh kerjaan saja!!" Gerutu mbak Amel.

"Mbak, kan orang punya pemikiran masing-masing.." sahut Ningsih.

"Bener, lagian kalo anak di serahin ke nanny, nanti jadi anak nanny dong bukan anak kita.." balas Sri.

"Kamu nyindir aku Sri?!!" Sengit mbak Amel.

"Eh,.. nggak gitu mbak. Ya maksudku," cicit Sri memelas.

"Udah udah! Kamu juga Ningsih, kalau kamu kawin, jangan berhenti. Gunain kesempatan cuti!! Ck!!" Ucap mbak Amel masih mengomel.

"Tapi mbak, kalo aku dapet anak sultan, kan bulan madunya nggak cukup seminggu.." keluh Ningsih.

Seketika Nia terbahak tanpa sungkan yang dihadiahi pelototan oleh Ningsih dan mbak Amel.

Yah, begitulah kurang lebih di ruangan itu. Sebenarnya hubungan mereka berlima cukup hangat dan dekat, tapi memang Niken yang menarik diri. Niken seolah tak pernah ada, padahal sejak semula dia berada di sana. Tanpa menyahut atau melirik sekilaspun. Semua rekannya memaklumi, mungkin Niken punya cara tersendiri. Toh jika di tanya juga menjawab. Tugasnya tak pernah terbengkalai dan dia hampir tak pernah bermasalah. Kecuali tentang pemecatan itu. Sekali bermasalah, langsung pecat.

Ngeri.

Mungkin rumor itu memang benar. Pak direktur itu sebenarnya sosok demit yang berkamuflase. Kejamnya nggak tanggung-tanggung.

"Yah, gimana ya Niken. Saya juga bingung. Pilih kamu saja ya. Pokoknya yang kompeten lah, secepatnya. Saya butuh sekretaris soalnya" ucap Robi.

"Baik. Akan saya bicarakan dengan bu Amel. Pak Robi punya kriteria tertentu? Secara spesifik" jawab Niken. Dia duduk di kursi seberang Robi duduk.

"Ya pokoknya yang cantik, seksi, tapi sopan. Oh ya, yang gesit kayak kamulah"

Niken mengangguk-angguk mengerti. "Akan saya sampaikan ke bu Amel" Niken lalu mengambil map hard cover itu sambil berdiri dari posisinya semula.

"Niken..." Robi meraih tangan Niken di atas mejanya.

Niken mengangkat wajahnya yang semula menatap dokumen yang hampir dipeluknya itu. Menatap Robi.

"Kenapa bukan kamu saja yang jadi sekretaris saya? Kapan kontrak kamu selesai?" Ucap Robi rendah.

Ditatap sayu oleh pria beranak dua yang masih jadi bahan gibah oleh karyawati kantor itu, sempat membuat Niken gugup. Wajah pria itu cukup rupawan, secara usia juga masih terbilang muda untuk ukuran pria beranak dua.

"Terimakasih pak Robi. Tapi maaf, saya tidak bisa" tampik Niken halus. Dia tahu Robi punya bukan hanya satu dua wanita simpanan lain di kantor ini. Tapi apa harus, dia masuk dalam kumparan itu. Lagi pula, kisahnya di sini akan usai kurang dari dua minggu lagi.

"Kenapa? Saya suka dengan kamu. Saya akan bilang bagian personalia" ucap Robi dengan wajah getir.

Niken tersenyum simpul. "Terimakasih sanjungannya. Tapi saya tidak bisa pak Robi" ucap Niken masih berusaha halus. Tak perlu lah menambah kasus ujaran kebencian lebih dari satu orang.

Still (END)Where stories live. Discover now