02.| Kau tau, kan?

318 56 4
                                    

Soobin terbiasa menghitung langkah-langkah Yeonjun di dalam hati ketika pemuda dengan bibir bebek yang menggemaskan itu datang dari arah pintu masuk, atau dari kamar, atau dari dapur, atau dari kamar mandi, atau dari mana pun itu. Soobin akan menghitungnya karena kebiasaan. Lalu diujung hitungan akan ditutup dengan kontak fisik, baik sentuhan dari jemari dingin, pelukan hangat, atau bahkan ciuman panas sekalipun.

Akan ada banyak cara untuk Yeonjun memberinya afeksi yang kadang Soobin sangat tidak prediksi.

Suatu hari Yeonjun datang dan langsung duduk di atas pangkuan Soobin yang sedang asyik mendengarkan berita di televisi. Dia menggerutu di ceruk leher Soobin, menghantarkan udara hangat yang menggelitik di beberapa titik. Dengan suara khas orang mengantuk, Yeonjun bertanya sambil lalu.

"Kapan kau akan menikahiku, Soobin?"

Dalam sebulan ini, setiap pagi pertanyaan itu tidak pernah absen di gendang telinga Soobin.

Soobin, "Kau tahu kan, kalau aku--"

Beban di atas pahanya tiba-tiba menghilang. Soobin kembali menghitung langkah Yeonjun yang bergegas menjauh.

"Jangan marah, Yeonjun."

"Jika kau tidak segera menikahiku, Soobin, aku akan segera punya anak dari wanita lain."

Ancamannya selalu sama tetapi hingga saat ini Yeonjun masihlah seorang lajang tanpa riwayat nakal dalam hubungan...

Ya, tentu saja kecuali hubungannya dengan Soobin.

.

Soobin mengernyit ketika mendengar langkah Yeonjun yang tidak biasa dari arah pintu masuk.

"Ada apa dengan langkahmu?"

"Hah? Ini? Eung... janji jangan terkejut."

Namun dahi Soobin telah berkerut kian dalam dan kedua ujung alis tebalnya bahkan nyaris menyatu.

"Dan jangan marah." Imbuh Yeonjun.

"Jadi?"

"Jatuh."

"Jatuh bagaimana?"

"Di dorong temanku."

"Apa yang salah?" Nada Soobin naik beberapa tingkat.

"Yeonjun?"

"Ya?"

"Kau berkelahi lagi karena aku?"

Tidak ada jawaban, tetapi beberapa saat kemudian Soobin merasakan jemari Yeonjun berada di pipinya, menangkup dan menggosok lembut seolah ingin memberinya hangat tetapi suhu Yeonjun ketika pertama kali menyentuhnya bahkan sempat membuatnya berjengit.

Itu tangan yang sangat dingin. Dingin dalam makna konotasi maupun denotasi.

"Kan, sudah ku bilang jangan marah, Soobin."

Suara Yeonjun selalu menjadi penawar bagi Soobin. Ada juga kalanya akan menjadi api untuk menghangatkan, atau air untuk mendinginkan. Kadang juga seperti narkoba, membuatnya ketergantungan, ingin lagi dan lagi, dan tidak akan pernah bosan.

Soobin telah jatuh dalam kecanduan yang dalam, tapi bagaimana ia bisa tetap egois? Ia selalu merasa jadi batu sandungan pada langkah-langkah Yeonjun. Bagaimana ia bisa tetap egois?

"Andai saja aku tidak buta."

Soobin tahu Yeonjun selalu membenci kata-kata ini.

"Jika kau tidak buta itu artinya aku sudah mati pada saat ini."

Soobin tidak bisa tidak terkejut. Ini adalah pertama kalinya Soobin mendengar jawaban itu. Ada dingin dari nada-nada Yeonjun, yang kemudian merambat ke relung hati Soobin.

Lalu dingin yang melingkupi pipinya menghilang, Soobin mendengar langkah ganjil Yeonjun yang kian menjauh.

Yeonjun berucap sebelum derit pintu menenggelamkan suara langkahnya.

"Jangan marah Soobin."

Soobin bertanya-tanya dalam hati.

Jangan marah untuk apa?

.

"Kau tahu, kan, kalau aku sangat mencintaimu?"

Yeonjun mengangguk di balik selimut.

Soobin melirik Yeonjun di sebelahnya walau tahu hanya akan mendapati kegelapan.

"Yeonjun, sudah tidur?"

"Belum."

"Kenapa tidak jawab?"

"Iya, Soobin, iya."

Soobin terkekeh. Ia mengulurkan tangan dan Yeonjun segera menangkapnya ke dalam genggaman tangan dinginnya.

"Cinta, cinta, tapi sampai sekarang belum juga mau menikahiku."

Soobin hendak protes tetapi masih ada yang lebih penting untuk diutarakan.

"Jangan terburu-buru, Yeonjun. Aku ingin pernikahan kita nanti benar-benar matang, jadi tolong sabar sedikit lagi."

Tidak ada jawaban tetapi Soobin tahu pemuda itu belum tertidur karena ibu jarinya masih terasa bergerak-gerak kecil di genggamannya.

"Aku minta maaf."

Yeonjun mengangkat sebelah alisnya bingung. "Untuk apa?"

"Aku tahu mengapa kau tiba-tiba ingin aku buru-buru menikahimu. Itu karena sebulan yang lalu aku sempat mempertanyakanmu, kan?"

Yeonjun berkedip, sekali, dua kali.

"Bukan maksudku meragukanmu, sungguh. Aku hanya berpikir, kenapa kau tidak--"

"Jangan dilanjutkan."

Soobin segera menutup mulutnya rapat-rapat.

"Aku ingin bicara serius, Bin-ah."

"En, bicaralah."

"Pertama, jangan katakan kekuranganmu di depanku."

Soobin mendengus menahan tawa. Ia merasakan beban di atas pahanya, lantas satu tangannya yang bebas ia gunakan untuk menyisir helai lembut milik Yeonjun dalam pangkuannya.

"Baiklah, tidak lagi."

"Aku benci kau yang memandang rendah dirimu sendiri. Tahu tidak, untukku kau itu seperti dewa. Kau penyelamatku, kalau kau tidak menyelamatkanku dari kecelakaan dulu, kita pasti tidak akan bersama."

Malam kian larut dan suhu kian membeku, tetapi dalam kamar yang gelap (Yeonjun memiliki kebiasaan baru, akhir-akhir ini ia akan mematikan lampu kamar dan memosisikan diri sebagai orang buta seperti Soobin) hanya ada kehangatan yang mengisi.

"Kedua, aku juga mencintaimu, benar-benar cinta, jadi jangan kira aku rela hidup dengan mu hanya karena merasa kasihan dan bersalah. Kalau kau masih tidak percaya silakan saja gali hatiku. Nih, aku sudah siap. Ayo gali, gali." Tuturnya sambil membawa tangan Soobin ke dadanya sendiri.

Soobin tertawa, "Aku percaya, kok."

"Kalau begitu kapan kau akan menikahiku?"

Mulai lagi.

Soobin menghitung dalam hati berapa kali tangannya meluncur di atas kepala Yeonjun. Lantas ketika malam mulai terasa semakin sepi, di sela bunyi jarum jam Soobin berucap pelan.

"Bagaimana jika tahun depan? Tunggu. Bulan apa sekarang?"

Soobin mendengar Yeonjun batuk beberapa kali.

"Kapten Choi, itu artinya kita akan menikah dua bulan lagi?"

"Oh? Ku kira kau sudah tidur, Yeonjun."

.
Selesai
...

Serpih ~2~

1 Juli 2021


Vote komen dan save di perpustakaan kalian ya muahahah

Serpih || SoobjunWhere stories live. Discover now