15.| Alasan

90 12 94
                                    

Ketika pagi menjelang, warna langit berubah menjadi terang dan semakin terang. Seorang pria yang tinggal seorang diri di sebuah rumah kecil berfasilitas minim, selalu ingin memiliki mimpi yang lebih dan lebih panjang setiap hari.

Dia hanya kesulitan untuk menerima hari yang melelahkan. Setiap hari telah menguras energinya. Bahkan jika dia berusaha bertahan hidup dengan istirahat yang lebih panjang, tidak akan ada peningkatan dari jumlah energi kehidupan yang justru kian merosot tajam.

Dia semakin putus asa dari hari ke hari. Sepertinya dia siap mengakhiri hidupnya kapan saja, tapi terlalu takut untuk melakukannya sendiri. Jika tiba-tiba ada sebuah truk entah dari mana datang menabrak tubuhnya, mungkin dia akan mengangkat jempol pada sang sopir sebelum mati. Atau seandainya ada perampok yang menodongkan pisau padanya, dia akan merentangkan tangan dan tersenyum padanya. Atau mungkin seorang polisi menembakkan peluru ke pencuri yang kabur, tapi salah sasaran dan malah menembus jantungnya, dia akan berdoa seribu kebaikan untuk polisi yang melakukan itu.

Namun semua itu hanya khayalannya yang mulai gila. Pagi ini mataharinya naik lagi ke atas dan dia harus segera bangun sebelum bosnya mengomelinya lagi.

"Kau sarapan pagi ini?" Itu suara dari seorang hyung di meja kasir ketika dia baru saja masuk ke dalam cafe tempatnya bekerja.

"Tidak, aku bahkan baru saja bangun kurang dari tiga puluh menit yang lalu."

"Bagus, kau bisa segera mati jika terus hidup dengan cara yang tidak benar."

Dalam hati dia berkata 'Memang itu mauku.'

Sekarang Yeonjun bahkan mulai berpikir, apakah seharusnya dia berhenti bekerja saja? Tujuan dia bekerja adalah agar tetap bisa makan. Namun sekarang, sepertinya, dia tidak butuh makan lagi.

.

Di dunia ini, selalu saja ada orang yang penasaran dengan hidup orang lain. Misalnya penasaran apa yang orang lain pikirkan ketika mereka pergi bekerja. Bagaimana mereka tetap melakukannya walaupun lelah? Bagaimana mereka memaknai kehidupannya? Bagaimana mereka bisa mendapatkan kebahagiaannya?

Soobin selalu bertanya-tanya, dia penasaran, kenapa tampaknya kehidupan itu mudah bagi orang lain, sedangkan dia hanya terus merasakan kekosongan yang tak berujung, hidup karena dia hidup, tidak ada alasan yang benar-benar jelas untuknya melakukan sesuatu.

Suatu hari, dia melihat seorang pemuda sedang berjongkok di pinggir jalan. Hujan gerimis, tapi pemuda itu tidak membawa payung ataupun mantel untuk melindungi dirinya dari basah. Soobin berhenti hanya untuk memperhatikannya beberapa saat, dan kemudian mulai bertanya-tanya.

'Apa yang pemuda itu lakukan? Melindungi anak kucing dari hujan? Tapi dia jadi kehujanan.'

Soobin berpikir pemuda itu bodoh. Jika ingin menolong anak kucing itu, kenapa tidak kau angkat lalu cari tempat berteduh? Bukankah sekarang keduanya sama-sama kehujanan?

Namun entah mengapa hari itu Soobin yang biasanya acuh tak acuh pada orang lain, memberikan perhatian lebih pada orang di hadapannya.

Mungkin karena merasa sedang diperhatikan, pemuda itu akhirnya mengangkat wajah. Mata mereka bertemu tanpa bisa dihindari. Soobin tidak memiliki waktu untuk berpaling, jadi dia hanya balas menatap pemuda di bawah situ.

"Tuan, apakah kau mau memelihara kucing?" Mata pemuda itu berkedip-kedip ketika air hujan jatuh ke matanya.

Soobin terdiam, diam, dan hanya mampu terdiam. Pegangannya pada payung semakin mengerat. Sampai dia menjawab.

"Berikan padaku. Aku akan membawanya pulang."

Pemuda itu tersenyum senang. Bergegas mengangkat anak kucing berwarna cinnamon itu ke dalam pelukannya.

Serpih || SoobjunWhere stories live. Discover now