MUT part 12

10.8K 350 15
                                    

"Katakan yang sejujurnya, Janah?" tanyaku emosi.

"Tahan emosimu. Jangan buang-buang tenaga. Sebaiknya kita segera menuju tujuan kita," ucap ustadz Rahman mengingatkan aku.

"Tunggu aku dikamar. Nanti aku menyusul," pintaku pada Janah.

"Baik, Mas."

Janah sepertinya enggan untuk meninggalkan kamar ini. Padahal sudah mengatakan baik, tapi matanya masih memperhatikan kami yang membuka lemari.

Aku menghembuskan nafas kasar.

"Janah, tolong jangan bikin Mas marah. Masuklah ke dalam kamarmu, nanti Mas menyusul," ucapku lagi.

Kini dia tidak menjawab, tapi langsung berjalan cepat meninggalkan kami. Sebenarnya apa yang menyebabkan Janah bertingkah seperti itu? Membuatku tambah pusing saja.

Ternyata kunci yang aku masukan salah. Ustadz Rahman menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkahku.

"Kunci ini sudah tidak bisa dipakai. Sepertinya dia telah mengganti kuncinya," ucapku yang membuat ustadz Rahman mengangguk cepat.

Kami memperhatikan seluruh sudut ruangan kamar ini, berharap ada petunjuk. Jangan tanya kenapa aku tidak mengabari Sinta? Karena aku tidak ingin berlama-lama dengan masa lalu dan nomornya sudah aku hapus setelah talak aku ucapkan.

"Kenapa kita harus repot-repot melakukan ini? Bisa saja apa yang Sinta ucapkan adalah omong kosong," ucapku pasrah dan memilih duduk di ranjang.

"Antum jangan seperti ini, Tadz. Bisa saja yang Sinta sembunyikan adalah hal besar. Apa selama ini Sinta tipe orang yang suka bicara omong kosong?" tanya Ustadz Rahman dan aku menggeleng cepat.

Selama ini Di Sinta tidak pernah basa-basi ataupun bicara omong kosong.

"Baik. Ini pasti sesuatu yang sangat penting," ucap Ustadz Rahman dan langsung kembali berantusias mencari kuncinya.

Kutemukan selembar kertas putih di atas meja riasnya. Ada sebuah tulisan, 'Ambil kunci lemari bajuku di bawah bantal'. Aku langsung mencarinya di bawah bantal dan ketemu.

"Ini Tadz, kuncinya."

"Baguslah. Ayo segera buka."

Dengan tangan gemetar, aku mencoba membuka lemarinya. Entah apa yang membuatku tiba-tiba seperti ini.

"Apakah Antum baik-baik saja, Tadz?" tanya ustadz Rahman ketika melihatku yang tiba-tiba gemetar.

"Iya. Saya tidak apa-apa, Tadz," jawabku dan dia terdengar menghela nafas ringan.

"Belum apa-apa Antum sudah seperti ini, Tadz. Bagaimana jika nanti ketika menemukan Surat itu? Mungkin bisa masuk rumah sakit," candanya yang tidak terdengar seperti lelucon.

***

Pintu berhasil dibuka. Terdapat dua lembar kertas. Satu putih bening berukuran sedang. Satu lagi seperti kertas HVS A4.

Aku langsung mengambil kedua kertas yang tersimpan satu-satu itu dari lemari yang kosong melompong. Hanya ada beberapa buah baju dan perhiasan pemberianku.

Sepertinya dia sangat membenciku, hingga pemberianku pun enggan dia bawa. Bahkan sampai berkhianat.

Aku membuka satu kertas yang sedang.

Di sana terdapat tercetak 'Atas nama Fahmi Idris bin Abah kiai haji Farhan Hamid Idris umur 27 tahun dinyatakan tidak bisa memiliki keturunan.

Deg...tubuhku lemas seketika. Air mata yang entah sejak kapan keluar tiba-tiba sudah membasahi mataku.

Menyesal Usai Talak || SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang