Bab 14

26 4 0
                                    

Cerita ini hanyalah fiksi. Tidak ada satupun kejadian di cerita ini yang teradaptasi dari pengalaman pribadi penulis.

Selamat membaca!

***

"Kita menang Tar!" Isty bersorak dan mengguncang tubuh sahabatnya itu. Begitu pula dengan penonton di sekitarnya. Mereka semua mendukung kelasnya dan mengerubungi mereka semua. Meminta foto dan lain sebagainya.

"Iya aku tahu!" pekik Tari menghentikan tangan Isty sebelum tangannya bertindak lebih. Diam-diam, gadis muslimah itu juga tersenyum senang.

Sangking senangnya, Isty bahkan sampai berteriak dan meloncat-loncat tak tahu malu. Tawa memenuhi wajahnya. Rasa menggebu-gebu terasa hangat dalam dadanya.

"Kau cewek gila, ya?" celetuk seseorang di dekat mereka yang menatap jijik tingkah kekanakan Isty.

Tari membalas dengan tatapan kesal. "Memangnya nggak boleh apa? Terserah kita dong!" cibirnya.

Gadis itu lantas tertawa. "Aku kasihan sama Aby. Orang pacarnya kalah malah senangnya minta ampun. Pacar macam apa itu? Kenapa nggak putus aja sih? Menggelikan!" cacinya sebelum pergi meninggalkan kedua gadis yang mematung itu.

Seutas garis di wajah Isty berhenti melengkung. Dia baru teringat perihal pacarnya itu. Pandangannya beralih ke pinggir lapangan. Sekelompok siswa yang berjalan memecah kerumunan dengan kepala yang tertunduk. Tidak ada yang peduli dengan mereka. Bahkan kepergiannya seolah hanya angin yang berlalu.

Isty merasa cemas. Ia tak bisa memandang seperti apa ekspresi Aby karena tertutup tubuh siswa yang lain. "Tar, aku ... anu ... itu," tunjuknya dengan ekspresi bingung.

"Iya aku paham. Sana pergi," kata Tari mengibaskan tangan. Isty langsung mengangguk dan berlari menuju kantin. Membelikan sebotol minuman dan membawakan handuk untuknya. Berharap bisa sedikit meringankan rasa kecewanya.

"Ini."

Langkah kakinya terhenti. Tubuh mungil Isty refleks bersembunyi di balik tembok. Bola matanya melirik ke arah di mana Aby berada. Di depannya terdapat gadis yang memiliki tinggi tak jauh dengan Aby.

Pemuda itu menerima sodoran botol minuman tanpa bicara. Tangannya membuka tutup botol dan menandaskan isinya hingga tak tersisa. Aby tertegun saat sebuah handuk berada di depan matanya.

"Tumben sekali kau," sindir Aby menerima handuk itu dan mulai mengusap peluhnya.

Sang gadis tertawa kecil. "Apaan sih. Bukannya pacar emang harusnya gini? Biasa dong, kalau cuma ngasih minum sama handuk mah," ucap Nafa enteng.

Tatapan Aby menyelidik. "Kau saja hanya kasihan padaku."

"Yah, mau bagaimana lagi?" Nafa tak menyangkal. "Sesuai perjanjiannya, aku akan melakukan hal yang biasa pacar lakukan. Lagi pula, pacar aslimu tidak datang. Mana mungkin aku tak kasihan?"

Isty yang mendengar semuanya merasa sesak. Benar, selama ini ia tak pernah melakukan hal manis yang dilakukan oleh Nafa. Meski hanya berpura-pura, Nafa justru seperti pacar sungguhan.

Aby tersenyum remeh. "Kalau dia ke sini paling malah menertawakanku. Aku harap tak bertemu dengannya sekarang ini."

Kedua mata Isty melotot. Rasa sesaknya semakin menjadi-jadi. Perkataan Aby bagaikan pisau yang tak terlihat. Menembus hatinya dan membuat luka tanpa ada setetes darah yang keluar. Sebelum tangisnya terdengar, ia memilih mundur.

"Kalau Isty dengar ia pasti sedih."

Aby menggeleng. "Nggak. Nggak. Kau masih belum mengenalnya. Dia malah balik mengejek ada," jelasnya seraya menghembuskan napas. Berpacaran lebih dari setahun membuatnya paham seperti apa sifat Isty. Meski sebenarnya, Aby hanya salah tangkap. Atau gadis yang sudah menjauh itu yang terlalu membuat semuanya berbelit.

Pacar Kedua [END MASIH KOMPLIT]Where stories live. Discover now