2 : Sweet Seventeen

352 89 11
                                    

Tinggal menghitung hari, Alan akan menginjak usia tujuh belas tahun. Ia akan segera menjadi pria dewasa yang memiliki KTP. Di usianya yang tergolong muda itu, Alan bisa mengendarai motor dan mobil sehingga ia juga berniat langsung membuat SIM untuk keduanya.

"Traktiran dong!" ucap seorang teman di kelas.

"Belum juga ulang tahun. Nanti," balas Alan terkekeh.

Tak seperti Alan yang memiliki banyak teman, Enriko justru dijauhi karena sifatnya yang aneh. Tak jarang ia berbicara sendirian. Enriko tak pernah berubah. Ketika malam menjemput, ia selalu terburu-buru pulang ke rumah. Oleh sebab itu, ia juga tak pernah keluar malam hari seperti Alan.

"Hari ini ada yang gangguin kamu enggak?" tanya Al pada En ketika mereka berpapasan sepulang sekolah.

Mereka selalu saling tunggu-menunggu setiap pulang sekolah, mengingat Alan berangkat mengendarai motor, dan En selalu duduk tenang di belakangnya. En hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan Al.

"Kalo kamu digangguin bilang," lanjut Alan.

En tak pernah mengadu pada Alan perihal dirinya yang kerap dibully Karena Al selalu menghajar orang-orang yang mengganggu En. Mereka sudah tak punya orang tua. Seorang kakak harus melindungi adiknya, itu pikir Alan.

Tak banyak percakapan mereka di atas motor, hingga akhirnya mereka tiba di rumah nenek.

"Assalamualaikum," tutur Alan dan Enriko bersamaan ketika masuk ke dalam rumah.

"Waalaikumsalam," jawab nenek yang berada di kursi goyangnya sambil menonton televisi.

Al dan En bersekolah di sekolah yang memiliki waktu belajar full day. Mereka masuk di pagi hari dan pulang saat sore menjemput. Ketika pulang, mereka sering menghabiskan waktu dengan bermain video game hingga malam, lalu di lanjut mengerjakan tugas sekolah atau bermain keluar untuk Alan.

Malam ini Alan memiliki janji dengan teman-temannya. Sehabis maghrib ia pergi keluar untuk sekadar nongkrong di warung kopi yang tak jauh dari tempat tinggalnya.

"Nek, aku keluar dulu sebentar," ucap Alan pada nenek.

"Jangan pulang malem-malem," balas nenek.

"Oke." Ia keluar dan berjalan kaki menuju tempat yang dijanjikan.

Namun, langkahnya terhenti ketika Alan mendengar samar-samar suara memanggilnya. Ia menoleh, tetapi tak ada siapa pun yang ia kenal di sekitarnya.

'Mungkin Alan yang lain.' Pikirnya ketika melihat jalanan yang agak ramai, tetapi tak ada seorang pun yang menoleh ke arahnya.

Alan terus melangkah hingga tiba di warkop langganannya.

"Muka lu pucet, Al," ucap Beni, salah satu teman tongkrongan Alan. "Lu sakit?"

"Kagak, ini mah nanti juga biasa lagi." Al duduk sambil memesan teh manis hangat.

Seperti kebanyakan remaja laki-laki saat berkumpul. Mereka membicarakan hal-hal random dari mulai sepak bola, tiba-tiba menjadi game online, tiba-tiba berubah topik lagi membicarakan wanita, dan tak jarang mereka saling menghina demi sebuah lelucon.

Namun, malam ini Alan tampak diam dan tak banyak bicara. Ia terus memegangi kepalanya yang semakin terasa pusing.

"Gua pulang duluan deh, kayaknya gua sakit nih." Setelah berpamitan dengan teman-temannya, Alan pulang.

Sepanjang jalan, Alan terus mendengar bisikan-bisikan yang aneh. Ia terus mengabaikan hal itu dan lanjut berjalan hingga sampai di rumah.

Sesampainya Alan di rumah, ia segera menuju kamar dan membaringkan diri di kasur. Sementara En sedang asik bermain video game.

Jurnal Sagara : Jejak KegelapanWhere stories live. Discover now