20: Senjata Pusaka

125 30 8
                                    

Irvan menatap tajam ke arah Adiwangsa. Entah, suasana mendadak tegang. Keadaan hening tanpa kata. Pada satu titik, Irvan menatap sebuah gulungan kain putih yang agak kotor karena darah Mariaban. Gulungan itu menyembunyikan sesuatu.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya En. "Apa yang Adiwangsa gunakan?"

"Enggak seharusnya benda keramat itu dikeluarin cuma buat ini semua." Irvan menunjuk ke arah kain putih yang ada pada Adiwangsa.

"Benda keramat apa?" tanya Alan.

"Salah satu Pusaka Siliwangi, Keris Naga Runting," jawab Irvan.

"Gua pikir dia cuma hamba Allah," ucap Alan.

Adi turun dari kepala Mariaban dan mengotori kakinya dengan darah makhluk itu. "Harusnya kau berterimakasih, Irvan. Dua makhluk itu mengincarmu tadi. Ditambah satu yang sedang melawanku, entah kenapa mereka terpancing teriakan Enriko."

Irvan menghela napas. "Makasih. Lain kali jangan gitu itu lagi. Benda-benda kayak gitu tuh kayak pisau bermata dua. Salah-salah, lu yang akan mati."

"Ya, akan ku ingat pesanmu," balas Adiwangsa. Ia berjalan melewati Alan dan Enriko.

***

Udara malam mencumbu kulit dengan kedinginannya. Mereka berempat sudah kembali ke Benteng milik Sagara bersaudara dan duduk di perapian portable yang disimpan di dalam salah satu laci bawah dapur. Tak ada perbincangan yang terjadi di antara mereka, terutama Irvan dan Adiwangsa. Adi memang pria yang pendiam, tetapi tidak dengan Irvan.

"Benda pusaka itu apa?" Pertanyaan Alan membunuh kesunyian.

En menggeleng sambil menatap Alan. Ia tahu bahwa Alan akan bertanya, mengingat rasa penasaran orang itu tinggi, tetapi ini bukan waktu yang tepat.

"Pusaka adalah sebuah benda keramat yang dipercaya memiliki kesaktian," jawab Irvan.

"Bagus dong kalo Adi punya senjata kayak gitu buat merangin setan," balas Al.

"Setiap pusaka itu punya kemampuan dan juga ritual penyimpanan yang berbeda," timpal Irvan. "Ada yang ketika tercabut dari sarungnya, maka pusaka itu harus menelan korban. Ada yang harus rutin memandikannya, dan berbagai macamnya. Dilihat dari sisi mana pun, pusaka hanyalah wadah khodam."

"Khodam? Apaan lagi tuh?" Untungnya rasa penasaran Alan tinggi. En jadi tak perlu turun tangan untuk bertanya.

"Khodam itu makhluk yang mendiami sebuah benda sehingga benda itu dipercaya punya kesaktian. Adi emang kuat dengan pusakanya, tapi tentu aja pusaka itu juga akan meminta hal yang setimpal. Jin, setan, iblis, apa pun itu. Makhluk-makhluk ini selalu menginginkan sesuatu dari manusia. Dari awal, enggak ada kesepakatan yang adil ketika seorang manusia bersekutu dengan mereka."

"Dalam kasus Adi, apa yang akan dia lakukan?" tanya Al.

"Dia itu muslim yang ta'at, tentu aja dengan menggunakan pusaka itu membuatnya melanggar beberapa syariat."

"Jadi lu marah cuma gara-gara itu?" tanya Alan.

"Jelas, Adi itu teman gua. Gua enggak suka liat dia nangis tengah malam gara-gara memohon pengampunan."

Kini Alan menatap Adi dengan senyum sumringah. "Sini dah buat gua aja."

Adi menghela napas berat. Ia meletakan pusaka berbalut kain putih itu di tanah. "Ambil saja."

Alan terkekeh. "Padahal cuma bercanda. Ya udah deh kalo maksa." Ia mengambil benda itu.

Ketika tangannya menyentuh bungkusan putih itu, tiba-tiba Alan terjatuh. Untuk sesaat ia hilang kesadaran.

Jurnal Sagara : Jejak KegelapanWhere stories live. Discover now