Prolog

8 2 0
                                    

Tujuh tahun yang lalu.

Semerbak aroma petrichor bercampur dengan mewangi bunga-bunga taman, menusuk tajam ke dalam indra penciuman. Ah, rasanya seperti perpaduan yang sempurna, sampai-sampai membuat seorang gadis menikmatinya dengan menutup mata.

Berjalan, Amora kembali melanjutkan langkah kakinya. Gadis kecil itu bergerak menyusuri jalan setapak yang di sepanjang sisinya ditumbuhi rerumputan hijau.

Taman yang sepi, suasana yang senyap, udara yang sejuk, rasanya menjadi hal yang  membuatnya semringah. Setelah melewati hari-hari yang berat, alam seolah ingin menghiburnya kali ini.

"Kamu baik-baik aja?"

Amora terhenyak tatkala mendengar suara seseorang yang duduk di sampingnya. Gadis itu menoleh dengan hati-hati, menatap wajah seorang laki-laki kecil seusianya dengan lamat.

"Kamu senyum, tapi wajahmu kelihatan sayu. Kamu baik-baik aja?"

Amora menyapu pandangan di sekelilingnya, memastikan apakah laki-laki kecil itu benar-benar berbicara padanya. Saat mengetahui bahwa hanya ada mereka berdua di sana, Amora sontak meresponnya dengan mengangguk sekilas.

"Namaku Alfan. Ini," ucap laki-laki kecil itu seraya menodongkan sebungkus cokelat di hadapan Amora.

Amora tak langsung menerimanya. Sejujurnya dia merasa tak nyaman dengan kehadiran laki-laki kecil itu.

Laki-laki kecil yang bernama Alfan itu menatap Amora sekilas lalu mengalihkan pandangannya pada langit biru, menatapnya dengan kosong.

"Papa bilang, aku harus jadi teman kamu. Papa bilang, cokelat ini untuk kamu. Papa bilang, aku harus jagain kamu! Kenapa papa nyuruh aku ngelakuin itu?" tukasnya dengan nada kesal.

Amora tak paham dengan perkataan yang dilontarkan oleh Alfan. Gadis itu tetap setia dengan kebungkamannya.

"Kamu mau, kan, jadi temen aku? Aku nggak mau lihat papa nangis lagi. Aku mau nurutin semua perkataan papa. Mau, ya!?"

Amora tak kunjung menjawab. Gadis yang masih berusia sepuluh tahun itu hanya menyorot wajah Alfan dengan sendu.

Setelah kejadian yang menimpa keluarganya satu bulan kebelakang, Amora tak punya lagi teman bermain. Sejauh ini, dia terus mengurung dirinya di dalam kamar bersama sang ibunda yang mulai kehilangan kewarasan.

Namun, di detik ini, Tuhan mendatangkan seseorang yang tak pernah Amora sangka. Seseorang yang menawarkan dirinya menjadi teman bagi Amora.

Amora tak tahu apakah dia harus senang atau sedih. Sebuah perasaan rasa bersalah dalam dirinya, tertancap dalam sampai rasanya dia tak pantas jika harus memiliki teman.

"Kamu kenapa diam aja, sih?"

Laut yang lepas menelan berbagai macam makhluk bernyawa. Besar, kecil, sampai yang tak terlihat oleh mata telanjang berada dalam satu tempat yang tampak tenang jika dilihat dari permukaan.

Sama halnya dengan manusia. Mulutnya bisa saja terdiam, tapi siapa yang tahu jika hatinya menyimpan banyak kisah kelam yang selalu membuatnya tak tenang?

***

Peringatan!
Alur cerita ini akan maju-mundur.

BungkamWhere stories live. Discover now