TIGA PULUH SATU

12.9K 2.3K 290
                                    

Hai, teman. Kalau kamu suka membaca ceritaku, aku memohon dukunganmu agar kamu membaca novelku di apk iPusnas. Baca di apk iPusnas gratis dan aku tetap mendapatkan royalti setiap kali bukuku dibaca. Katanya judul bukuku yang tersedia di sana sudah bertambah, jadi makin banyak. AKu memerlukan royalti untuk menulis cerita selanjutnya. Sebab menulis cerita itu tidak gratis, perlu biaya. Dari bukuku yang telah terbitlah aku memenuhi biaya itu :-)

Thank you so much. Oh ya follow aku juga ya di IG/TikTok/Karyakarsa ikavihara dan aku ada WahtsApp di 0831 5586 1228 untuk pertanyaan mengenai buku-bukuku.

***

Ava menolak tawaran Manal untuk berangkat ke kantor bersama. Selain karena rumah Ava, rumah Manal dan kantor mereka tidak sejalur—yang hanya akan membuat Manal susah—Ava tidak mau mengambil risiko semakin dibenci oleh penggemar Manal. Melihat Ava datang berpelukan dengan Manal di atas Sheila, besar kemungkinan Ava terbunuh dalam lift saat menuju lantai lima belas. Dibunuh oleh tatapan tajam dari para wanita penggemar Manal.

"Enak banget sih ini." Tana menggigit chicken katsu-nya. Hari ini Manal membawakan bekal untuk mereka bertiga, sebab Ava merasa bersalah setelah tidak pernah lagi makan siang bersama Tana. "Aku rela jadi obat nyamuk dari dulu kalau tiap hari makan enak begini."

Mereka duduk bertiga menghadap jendela kaca. Ava berada di tengah diapit Manal dan Tana. Rasanya tidak nyaman duduk berdua saja bersama Manal di sini setiap hari. Omongan orang, yang tidak enak, sudah mulai terdengar lagi. Bahwa Ava dan Manal menggunakan pantry sebagai tempat pacaran. Mau makan di luar bersama Tana, tapi Ava tidak ingin melewatkan makanan lezat buatan ibu Manal.

"Kamu nggak takut bangkrut kalau kasih makanan gratis ke Tana? Dia makannya banyak." Ava menikmati japanese salad-nya. Wafu dressing-nya luar biasa. Bangun jam berapa ibu Manal untuk memasak semua ini?

"Ah, kan nggak setiap hari." Bangkrut juga Manal rela asalkan bisa melihat Ava tersenyum senang sepanjang siang. Mata Ava berbinar setiap melihat isi kotak bekal. Ada bonus ciuman di pipi untuk Manal. Tadi mereka sepakat mulai sekarang hanya akan makan di pantry tiga kali seminggu. Sisanya mereka makan di luar. Mengakrabkan diri dengan teman masing-masing.

Sejauh ini, selain Tana, hanya ada dua teman Ava, Rizka dan Livia, yang tidak mempermasalahkan kedekatan Ava dengan Manal. Bahkan mereka menyampaikan harapan hubungan Ava dan Manal bisa berlangsung seumur hidup. Sedangkan teman-teman akrab Manal hanya menggerutu mendapati Ava sudah tidak jomlo lagi. Siapa yang menyangka, Ava, yang selama ini bilang Manal adalah orang paling populer di kantor, ternyata punya penggemar juga.

"Duh, kalau calon mertuaku masaknya seenak ini, aku nggak akan PD dikenalkan." Tana mengelap mulut dengan tisu.

Betul juga. Ava tertegun. Apa ibu Manal mencari menantu yang pandai memasak? Atau paling tidak, kemampuan memasaknya satu level di bawah beliau. Kalau seperti itu, sudah pasti Ava tidak akan lolos seleksi. Karena Ava tidak bisa memasuk sama sekali.

Ava menggelengkan kepala. Itu bukan masalah yang harus dia khawatirkan. Memang kenapa kalau dia tidak bisa masak? Bukankah dia tidak ada rencana untuk menjadi istri Manal? Untuk menjadi menantu ibunya Manal?

"Sejak kapan kamu tertarik programming, Tana?" tanya Manal.

"Waktu SMA. Kalau nggak, aku nggak kuliah itu. Kenapa?"

"Memasak seperti itu juga. Kalau sering melakukan, lama-lama akan bisa. Pertama memang nggak enak, tapi nanti juga akan membaik. Kenapa kamu nggak kunjung bisa masak, Tana, itu karena kamu mencari-cari alasan untuk nggak memasak. Tidak ada waktu, capek, malas cuci piring, apa lagi alasanmu?" Jawaban Manal membuat Tana tertawa. Tepat seratus persen. "Kamu tahu, bisa memasak masih menjadi salah satu pertimbangan bagi kebanyakan laki-laki untuk mencari istri."

Sepasang Sepatu Untuk AvaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora