Delapan belas : He loves she!

1K 160 63
                                    

Seneng banget lihat jumlah vote dan bacain semua komenan temen temen 🤣🤣 thank youu udah mampir ❤

Challenge-nya juga masih berlaku juga ya 👌
Minimal vote 70+
Comment 20+

Atau mungkin kalau dihari sebelum sabtu nanti challenge-nya udah terlampaui, kayanya mungkin bisa langsung aku up 🤣

•••

Ali

Akhirnya, gue hanya harus berada di tempat ini selama 5 hari. Tempat yang penuh aroma obat, serta juga banyak memberikan pandangan mengerikan bagi gue pribadi. Karena hanya ditempat perawatan ini gue jadi gak bisa bebas mau melakukan apa saja. Thank god!

Bebas yang gue maksud itu adalah, gue gak bebas bisa merasa nyaman tidur di bed pasien yang sempit ini. Belum lagi infus yang menempel ini membuat gue jadi tidak bisa melakukan kegiatan bersih diri secara mandiri. Pasti masij harus dibantu Mama ataupun Papa. Itupun hanya sebatas dilap menggunakan kain yang khusus digunakan untuk menyeka permukaan badan. Ya sama aja dong, dengan gue yang gak mandi. Gerah banget serius.

"Kamu tetep masih belum dibolehin kerja lho, Mas." Suara itu berasal dari Mama yang kini tengah merapikan barang bawaan kami sebelum kami beranjak pergi. "3 hari lagi kita juga masih harus kontrol kesini lagi, jadi kamu kalau udah dirumah jangan bertingkah aneh aneh dulu. Inget, banyakin istirahat."

Bukannya gue durhaka. Tapi seriusan, ini adalah kali ketiga Mama memperingatkan gue. Dan beliau juga menggunakan kalimat yang sama untuk mengatakannya. Kesannya, gue kaya anak nakal yang bandelnya keterlaluan sampai sampai susah dibilangin. Padahal aslinya gue mah gampang nurut, apalagi kalau udah sama pawangnya.

"Iya Mama, udah Mas catat baik baik ya," seru gue sengaja sambil cengar cengir, "tapi ini prilly kok belum kelihatan ya?" Tanya gue kini pada Mama tapi beliau sepertinya terlanjur kesal dulu dengan gue akibat melihat gue yang cengar cengir dari tadi.

"Ah, Mama lupa bilang ya." Nih firasat gue kenapa gak enak jadinya. "Prillynya bilang ada urusan pekerjaan yang urgent, jadi hari ini dia nggak bisa izin buat jemput kamu."

Nah kan.

Gue ngerti sih kalau urusan lain Prilly sudah menyangkut soal pekerjaan, gue gak bisa berkutik ataupun ikut campur menyela. Pertama soal prioritas pastinya, kedua karena kalau gue sendiri harus dihadapkan dengan pilihan yang sama, maksud gue harus pilih antara izin jemput tunangan atau selesaikan pekerjaan, tentunya gue juga akan mendahulukan pekerjaan.

Prioritas ini maksudnya bukan berarti siapa yang lebih penting menurut Prilly. Namun lebih ke arah, yang paling lebih penting untuk didahulukan, dengan mempertimbangkan efek maupun outcomenya nanti untuk dimasa mendatang. Jadi, gue fine fine aja dengan hal itu. Lagi pula, dari awal sejak gue memilih Prilly, gue udah tahu pekerjaan dia apa maupun resiko atas pekerjaannya. Lagian status kami masih hanya sebatas tunangan, gue baru bisa berhak protes kalaupun status gue sudah menjadi suami dari Prilly.

"Prilly punya tanggung jawab atas pekerjaannya, pasti dia juga mampir kerumah nanti kalau udah pulang dari kantor."

"Iya, Mas tahu Ma."

Tapi ya, ada rasa sedih sedikit. Karena kemarin Prilly sendiri yang mengatakan bahwa dirinya sudah meminta izin untuk menjemput kami di rumah sakit. Andai saja Prilly tak menjanjikan apapun ke gue, gue baik baik saja.

Selesai Papa kembali mengurus administrasi rumah sakit, kami bertiga langsung meluncur ke kediaman tercinta. Sampai disana sudah pastinya disambut dengan beberapa ART yang sudah menyiapkan menu makanan kesukaan gue semua. Alhasil, bukannya ngebet ingin segera merebahkan diri diatas kasur kamar gue, gue malah memilih duduk di ruang makan untuk mencicipi makanan yang sudah siap ini.

We're Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now