🍒17. Debaran

504 74 27
                                    

Jian melihat layar ponselnya saat melihat ada yang menelfonnya. Ah, ternyata sang Ayah.

"Jian, Papa nggak mau tau, nanti malam kamu harus pergi ke tempat les."

Belum sempat si gadis membuka mulutnya untuk melayangkan protes sang Ayah sudah terlebih dahulu mengakhiri panggilannya. Jian menyandarkan kepalanya di kursi taman dekat sekolahnya. Tidak langsung pulang, gadis itu memilih untuk menyendiri di taman terlebih dahulu sebelum pulang.

Memejamkan matanya lelah menikmati angin sore yang membelai wajahnya dengan lembut. Mengapa harus dia yang menanggung ini? Mengapa harus Jian yang terus-terusan ditekan seperti ini? Dari jutaan makhluk yang hidup di bumi mengapa harus dia?

Gadis itu bahkan tak sadar jika air matanya sudah mulai mengalir membasahi pipi gembilnya yang memucat.

Sementara Kevin yang berdiri tak jauh darinya langsung berjalan mendekat tanpa ia sadari. Pria itu berjongkok di depannya lalu dengan telaten mengusap jejak air matanya dengan ibu jarinya.

"Kenapa nangis hmm?" Jian sedikit tersentak melihat atensi Kevin di depannya.

Ingin mengumpat seperti biasa, namun sadar jika dirinya sedang membutuhkan sandaran maka yang dilakukannya adalah menubruk tubuh pria itu lalu memeluknya erat.

"Vin..." isaknya.

Kevin mengusap lembut bahu sang gadis. "Lepasin semuanya, Ji."

"Kenapa harus gue? Hiks."

Kevin tak mengerti kemana arah pembicaraan ini, namun tahu jika gadis kucing itu sedang ada masalah maka ia hanya bisa menghela nafas lalu berkata, "Karena lo istimewa. Tuhan nggak akan pernah ngasih cobaan diluar kemampuan manusia."

"Tapi gue nggak sanggup, Vin. Hiks gue nggak sanggup ditekan terus kaya gini." Sekarang yang Kevin tangkap gadis pujaannya sedang tertekan entah karena apa. Ah sial!! Dia bukan Agam yang pandai mengerti perasaan wanita.

Ditepuknya pelan bahu Jian. "Lo harus bisa, nggak ada yang abadi, termasuk sedih." Jian menggeleng pelan dalam pelukannya. "Tapi gue udah menderita dari dulu!!" Pekiknya sambil terisak.

"Jian denger, jangan pernah merasa jadi yang paling tersakiti. Di luar sana banyak yang lebih menderita dari lo, banyak Ji." Ujar Kevin lembut.

"Tapi gue udah nggak sanggup, Vin. Papa--Papa selalu nuntut gue buat jadi yang terbaik. Tapi gue nggak bisa, Vin, nggak hiks. Gue ya gue pinter dalam porsi gue ya kaya gini. Papa pikir gue nggak pernah usaha apa ya? Hiks dia nggak pernah tau gimana gue begadang cuma buat ngapalin rumus yang bahkan gue sendiri nggak ngerti." Papar Jian sambil terus terisak.

Kevin paham sekarang. Jian tertekan karena kekangan orang tuanya atau lebib tepatnya Ayahnya. "Nggak boleh gitu, Papa lo pasti punya alasan untuk itu." Jelasnya selembut mungkin.

"T-tapi hiks nggak bisa ya Papa ngertiin aku dikit aja? Hiks."

"Jangan minta dingertiin, lo juga harus bisa ngertiin. Ji, Papa lo pasti mau yang terbaik buat lo." Kevin mengusak lembut surai sang gadis.

"Tapi itu nyiksa gue, Vin." Lirih Jian.

Kevin mengangguk mengerti. Terkadang orang tua memang begitu, mengekang dengan alasan 'demi yang terbaik' tanpa tahu jika tindakannya malah menyakiti dan membuat sang anak tertekan.

Sore ini Jian membiarkan pria yang selalu ia tolak mentah-mentah mengetahui sisi terlemahnya.

🍒

Jerry mengunjungi cafe dimana ia menemukan diary usang kemarin. Pria itu mengedarkan pandangannya mencari agaknya apakah gadis kemarin ada disini.

[ 1 ] Scenario ✅Où les histoires vivent. Découvrez maintenant