CHAPTER LANDO: Penakluk Straight

29.3K 638 34
                                    

LINGGA menatap nanar pada lantai keramik  bermotif kayu yang sedang dipijaknya. Bukan, Lingga bukan terpukau akan keindahan keramik itu. Dia sedang merenungi nasibnya, merutuki keputusan yang dia pikir salah, namun terpaksa dia lakukan. Tadi, sebelum dia sampai ke apartemen mewah ini, dia benar-benar terkejut dan tak habis pikir ketika owner tempat dia bekerja, berniat memberikannya sejumlah uang, namun dengan syarat yang tanpa tedeng aling-aling dilontarkannya.

“Saya mau ngentot sama kamu.”

Kalimat itu terus terngiang hingga sekarang di telinga Lingga. Bagaimana bisa orang terpelajar dan sewibawa Pak Lando bisa berkata vulgar seperti itu? Bahkan istrinya saja tidak pernah berbicara sevulgar itu padanya. Belum lagi, itu bukan hanya sebatas kalimat vulgar, tapi juga keinginan erotis yang ingin dilakukan kepada dirinya yang berkelamin sama dengannya: seorang lelaki.

Sempat Lingga mengira Pak Lando hanya bercanda atau mungkin sedang mengetes kepribadiannya, sebelum rentetan kalimat aneh kembali menyerang telinga awamnya.

“Sudah lama saya memperhatikanmu, selama itu juga saya ingin menikmati tubuh indahmu. Kamu tau Lingga, tubuhmu itu selalu bikin saya horny. Apalagi sekarang bau keringatmu sungguh mengundang syahwat.”

Bahkan Pak Lando sampai menyentuh gundukan di area selangkangannya sendiri seolah ingin menunjukkan bahwa apa yang dikatakannya bukanlah gurauan belaka. Fakta di depan mata Lingga menjelaskan kebenaran secara gamblang: kejantanan yang terbungkus celana mahal itu menegang luar biasa hanya karena dirinya.

Headlines tentang pelaku pembunuhan seorang gay pun melintas di kepala Lingga tadi. Dan bisa saja dia akan menjadi korban berikutnya. Nyaris saja dia membuka pintu mobil dan berniat melompat keluar, sebelum akhirnya Pak Lando dengan tangkas menguasai pembicaraan.

“Saya dengar istri kamu mau melahirkan, biayanya pasti tidak sedikit. Pak Johan memang keterlaluan, memang kamu mau kerja di mana lagi kalau kamu dipecat gara-gara tak bisa bayar utang?”

Kalimat itu berhasil membungkam nalarnya. Uang. Semua permasalahannya karena uang. Bukankah tadi Lingga sempat berniat akan melakukan apa saja demi mendapatkan uang? Apakah ini jalannya? Pikiran menjadi korban mutilasi pun menguap seolah tak ada apa-apanya dibanding kebutuhannya akan uang. Bahkan dia berpikir kalau pun dia harus mati, itu lebih baik dibanding menanggung beban yang tak berkesudahan.

Lingga menegakkan kepalanya yang sedari tadi terus menunduk. Dia akhirnya memantapkan dirinya bahwa dia harus siap akan keputusan yang telah diambilnya. Dia adalah seorang lelaki yang harus memegang ucapannya. Dia sudah menerima tawaran Pak Lando tadi, bahkan sejumlah uang yang tak sedikit sudah ditransfer ke rekening milik tetangganya di kampung. Menolak sekarang pun sudah terlambat. Apa pun yang nanti terjadi, itu semua menjadi konsekuensinya. Dia kemudian mengamati kamar tempat dia berada sekarang, menyapu setiap sudut dengan matanya. Tak pernah terpikir olehnya untuk bermalam di kamar seindah ini. Andai saja dia akan bercinta dengan istrinya dan bukan pada seorang pria, mungkin keindahan kamar ini akan bisa dinikmatinya. Dilihatnya Pak Lando sedang meracik minuman berwarna-warni—yang dia tak tahu apa namanya—di salah satu sudut ruangan. Kamar ini sangat besar, setiap sisinya memiliki fungsi yang berbeda-beda, seperti sisi yang sekarang dijambangi Pak Lando. Lingga tak tahu tempat apa itu. Yang dia tahu hanya banyak botol-botol minuman yang tersusun rapi di rak-rak yang menempel di dindingnya. Dan ada beberapa gelas kaca berjejer di atas meja panjang yang dilengkapi dua buah kursi dengan kaki yang jenjang.

Lingga mengamati gerak-gerik serta perawakan pria yang nantinya akan menjamah tubuhnya itu. Dia benar-benar masih tak habis pikir. Pria di hadapannya ini dinilainya sangat tampan. Luar biasa tampan. Bahkan dia yakin banyak yang akan rela bertekuk lutut di hadapannya. Lantas dengan kesempurnaan itu kenapa dia malah memilih lelaki miskin, kotor dan lusuh sepertinya yang sangat jauh levelnya jika dibandingkan dengan Pak Lando sendiri? Dan kenapa dia tidak mencari pria yang setara dan tampan seperti dirinya?

L I N G G A - Kuli Jadi GigoloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang