CHAPTER BAGANTARA: Hukuman Kenikmatan 0.1

14.3K 347 66
                                    

Sebelum membaca pastikan kalian tidak akan terpengaruh sepenuhnya oleh isi cerita.

Cerita ini fiktif.

Segala hal penggambaran cerita, termasuk penggambaran profesi atau pekerjaan beserta institusi yang terkait hanya untuk menunjang isi cerita. Jika ada profesi yang tidak sesuai dengan kode etiknya maka tidak lantas itu mengambarkan profesi tersebut secara general. Anggap saja itu sebagai oknum. Tak ada sama sekali niatan untuk merendahkan atau menghina profesi dan institusi pihak mana pun.

Terima kasih.

Selamat membaca.

PEKATNYA langit menjadi tak bernyali karena polah purnama yang menghambur cahayanya. Dia bersinar angkuh seolah menertawakan mentari yang terlelap, yang seharian tadi berhasil mempecundangi keberadaannya. Langit malam kali ini begitu cerah, tak ubahnya seperti siang yang berkepanjangan. Begitu langit, namun tak begitu bagi seorang pria yang sedari tadi sedang memandangnya. Hatinya keruh, selaras dengan pikirannya yang kelam.

Riuh pesta barbeque di taman belakang rumahnya, seolah tak ada arti. Tak satu pun kehadiran kolega mampu membungkam keresahannya. Itulah sebabnya dia memisahkan diri dan memilih berdiri di sudut lain taman sambil memandang langit yang bermandikan cahaya bulan. Berharap langit mendengar segala resah dan kesahnya.

“Lando, kamu kemana, sih?” Ponsel yang sedari tadi digenggamnya nyaris remuk karena menjadi lampiasan kekesalannya. Pria yang namanya digumamkannya itu tak kunjung merespon panggilan telepon atau minimal membalas pesannya.

Lando. Nama itulah yang mengobrak-abrik kehidupannya. Kehadiran pria itu mengubah tatanan hidupnya yang sebelumnya berjalan normal. Anomali yang selama ini berhasil dikungkungnya, berubah menjadi gelenyar liar yang sukar dikendalikan. Bahkan seragam polisinya pun tak mampu berbuat apa-apa, justru seragam itu seolah menjadi kamuflase untuk menutupi anomali yang berkembang menjadi sebuah jati diri.

Dia tak tahu, harus menyesal atau bersyukur telah bertemu dengan Lando. Dia sungguh tak tahu. Namun satu yang dia tahu pasti, saat ini dia merindu pada sosok pengganggu hidupnya itu.

“Semua kacau gara-gara kamu.”

Nyaris saja dia berteriak dengan geram sebelum sebuah panggilan menghentikannya.

“Mas Baga ....”

Dia menoleh ke arah si pemilik suara lembut itu. Wajah kesalnya seminimalisir dihilangkannya. Wanita yang berdiri tak jauh di hadapannya itu terlalu suci untuk mengetahui borok di kehidupannya. Dia pun berusaha memasang senyum terbaiknya. Hal yang tak sukar karena sudah menjadi kebiasaan selama nyaris tiga tahun lamanya ini.

“Ayo! Yang lain pada nyariin, tuh, hidangannya juga sudah ada yang matang,” wanita cantik itu mengulurkan tangan ke arahnya.

Pria yang bernama Baga meraih uluran tangan wanita itu dan menggenggam lembut jemarinya. “Arsa mana?” tanyanya sebelum mereka berjalan beriringan sambil bergandengan tangan menuju pusat acara.

“Sudah tidur di kamarnya, ada mamah nemenin,” sahut wanita itu sambil bergelayut manja di lengan Baga.

Inilah yang membuat Baga bimbang. Di sana, sesosok yang dipujanya, yang mengenalkannya pada dunia marjinal yang melenakannya. Di sini, ada istri yang begitu berarti baginya, ibu dari putra yang semenjak dua tahun lalu menjadi harta kebanggaannya: Arsa.

* * *

Lingga tersenyum dalam lelapnya. Dia selalu menikmati saat-saat seperti ini, dipeluk saat dia tertidur di penghujung lelahnya. Dekapan hangat itu bagai selimut surga yang menyamankannya; dekapan hangat itu selalu mampu menghapus gusarnya; dekapan itu menyadarkannya akan arti sebuah keberadaan.

L I N G G A - Kuli Jadi GigoloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang