Jika menghinaku, terserah. Tapi jika berani membawa-bawa anakku yang tak bersalah, maka kau akan menyesal! Itulah prinsip yang kujunjung tinggi selama ini.
Pantang bagiku membiarkan seseorang menyeret-nyeret apalagi bicara buruk tentang keluarga yang tak tahu apa-apa dalam permasalahannya denganku.
Mirna menjerit keras ketika dengan sekuat tenaga aku menarik rambutnya yang panjang dengan kedua tanganku. Mas Raka serta Pak Brahma juga serta merta berdiri. Pastinya hendak memisahkan kami.
Tapi sebelum itu terjadi, aku harus melakukan sesuatu terhadap jalang cilik ini. Sesuatu yang akan membuatnya mengenangku seumur hidup.
Mirna sempat mencakar tanganku dalam upayanya melepaskan diri. Aku mencengkeram makin kuat hingga cewek sundal itu meraung menangis kesakitan.
Kurasakan dua buah tangan melingkari pinggangku, berusaha menarikku menjauh dari tubuh Mirna. Aku tahu aku pasti akan kalah tenaga pada siapapun yang berusaha menarik tubuhku saat ini.
Karena itu, sebelum cengkramanku terlepas dari rambut gadis itu, dengan sekuat tenaga kugoreskan cakaran kuku-kuku cantik hasil manicure-ku ke wajah Mirna. Tepat mengenai bagian pipinya.
"Aaarggghh ... sakiitt! Aaaarhh!" Mirna melolong panjang, sembari memegangi pipinya yang berdarah-darah. Bahkan kulit wajahnya pun ada yang menempel pada kuku-ku.
"Sudah gila kamu, Nirmala!" teriak Mas Raka sembari mendekap gadis itu.
Jika Mas Raka ada di dekat Mirna, berarti tangan yang masih melingkari pinggangku saat ini tangan Pak Brahma, dong.
Aku refleks menoleh, laki-laki itu langsung melepas kedua tangannya sembari melangkah mundur menjauhiku.
"Uuhuuhuu ... sakit, Abaaangg!" Mirna menangis seraya memeluk manja Mas Raka yang sedang berusaha menenangkannya. Benar-benar menggelikan.
"Benar-benar sudah kehilangan nurani kamu, Nirmala. Dia ini masih anak kecil!" Mas Raka lagi-lagi menghujatku demi membela Mirna.
"Nuranimu yang sudah mati, Mas! Kamu tuli, ya, nggak denger tadi dia ngomong apa ke aku? Kalian memang pasangan yang cocok. Sama-sama menjijikkan!" semburku pedas.
"Ya wajar Mirna marah, wong kamu ngancem mau lapor ke sekolah dan orangtuanya!" sungut Mas Raka. Benar-benar sudah cacat otak laki-laki ini.
"Wajar, kamu bilang? Hey Raka Prasetya, dia nyumpahin anak kamu mati, lho. Kayla! Kalau dia hanya menyumpahiku, aku mungkin akan memilih diam daripada meladeni jalang kecil itu.
Tapi Kayla, oh ... jelas aku tak kan terima! Cakaran itu saja masih kurang sebenarnya. Jika kalian tak ikut campur, tentu sudah kurobek mulutnya!" semburku murka.
"Huhu ... huuuhu ... wajahku rusak, Abang. Wajah Mirna udah nggak cantik lagi. Tuntut dia Abang karena sudah bikin Mirna begini. Tuntut dan masukin dia ke penjara!" tangis Mirna diiringi hasutan pada Mas Raka.
"Iya ... tenang ya. Nanti kita ke dokter buat ngobatin wajah kamu." Mas Raka sungguh tak tahu malu. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu di depanku dan Pak Brahma, atasannya sendiri.
Aku sudah tak dianggapnya sebagai istri dengan berlaku seperti itu di depan mata kepalaku. Ingin rasanya kuangkat kursi lalu menghantam kepala sepasang insan laknat tersebut biar mampus sekalian.
"Pokoknya Abang harus tuntut perempuan itu. Aku nggak terima diginiin, Bang! Uhuhu ... wajahku ... wajahku!"
"Iya, pasti Abang tuntut dia nanti." Jawaban Mas Raka membuatku semakin naik pitam. Aku hendak menyemburkan makian, tapi gerakan tangan Pak Brahma yang mencekal tangan ini, mencegahku.

KAMU SEDANG MEMBACA
OLEH-OLEH PERJALANAN DINAS SUAMIKU
RomanceSuami selingkuh? Jangan tangisi, tapi buat dia menyesal! Itu yang kutanamkan dalam hati saat mengendus pengkhianatan Mas Raka, suamiku.