- - 01 - -

1.5K 305 33
                                    

• GaLon <==> Gagal Move ON •



------------------------⭐⭐

Pilu masih saja bersahabat dalam keseharianku. Meski tawa Jihan dan Almas seketika menjadi obat yang paling mujarab. Nyatanya efek kesendirian itu memberikan pengaruh yang cukup berarti dalam kegiatan sehari-hari.

Menjadi sahabat bersama sepi, efek paling terasa kala gundah bersarang di dalam jiwa. Kesepian yang sulit terungkapkan dengan kata-kata. Ah, lama-lama begini aku bisa terserang penyakit gila.

Apa yang sesungguhnya terjadi, benarkah aku telah mengikhlaskan kepergian András dalam kehidupanku dengan sesungguhnya? Nyatanya rasa rindu itu masih menyatu dalam setiap desahan nafas yang sulit sekali diartikan dengan nama apa.

Beberapa kali aku mengecek pesan singkat yang telah kuterima dari semalam. Farheen Zachti, mantan kakak iparku memberitahukan bahwa akan ada pertemuan keluarga rutin. Yah, keluarga András memang mengadakan arisan juga pengajian rutin setiap bulan berputar di keluarga besar mereka. Dan kali ini giliran ibu mertuaku yang mendapatkan giliran menjamu. Ibu mertua, masih benar bukan aku menyebutnya sebagai ibu mertua karena sesungguhnya mantan mertua itu tidak akan pernah ada, kecuali mantan suami atau mantan istri.

Sungguh, keengganan semakin menyeruak di dalam hati namun aku tidak bisa serta merta menolak undangan dari mertua karena menurutku bagi setiap muslim sepertinya kewajiban mendatangi undangan ketika tidak ada uzur adalah satu keharusan. Helaan nafas panjang dan sempurna itu mau tidak mau pada akhirnya mengundang beberapa pasang mata untuk melihat padaku. Keinginan mengetahui lebih lanjut apa gerangan yang terjadi padaku saat ini terlalu besar tersirat dari ujung penglihatan mereka yang aku tahu.

"Kenapa Tata?" Diantara sekat kubikel meja kerja kami Aini memberanikan diri bertanya. Mungkin sudah sejak pagi dia merasa bahwa ada yang tidak beres dengan sikapku hari ini.

"Nggak ada apa-apa. Eh, mengapa memangnya?" Aku malah balik bertanya untuk menutupi semuanya.

"Bohong." Itulah Aini, dia bahkan lebih tahu tentangku dibandingkan dengan diriku sendiri. "Lagi galau, atau jadi galon?" Aku tersenyum mendengar pertanyaannya, tidak sepenuhnya salah namun bukan berarti 100% benar.

"Ain, aku boleh ajak Jihan pulang nggak?" tanyaku tanpa aba-aba.

"Kamu ingin pulang? Sesuatu terjadi dengan orang tuamu di rumah?" Bagaimana aku menceritakan kepada Aini. Bukan maslaah orang tuaku, meski aku kangen dan ingin bertemu mereka juga.

"Lalu?" tanyanya lagi tanpa melepaskan pandangan dari monitor yang ada di hadapannya.

"Menyebalkan sekali kekepoanmu kali ini." Aku tertawa karena yakin dibalik senyumnya dia sudah paham apa yang akan aku lakukan di kampungku.

"Menjadikan Jihan sebagai alasan untuk bisa bertemu dengan András?" tebaknya tepat pada sasaran.

"Kak Farheen mengundangku di acara keluarga mereka, umi ingin bertemu denganku." Jawabanku akhirnya, aku memang tidak bisa berbohong dengan sahabatku satu ini.

"Hei apa kabar pentheraphobiamu?" Ah iya, aku lupa bercerita. Setahun ini aku menjadi sangat aktif berkonsultasi dengan seorang psikolog. Sebenarnya masalahnya sepele, tremor dan rasa gelisah, ketakutan yang berlebihan saat bertemu atau ditelpon oleh keluarga András membuatku seperti orang linglung yang kehilangan pijakan untuk hidup. Seperti dihakimi terus menerus karena aku belum bisa memberikan keturunan kepada anaknya dan menyematkan nama Zachti sebagai kebesaran nasab yang akan selalu mengalir dalam darah keturunan mereka. "Jangan bilang kamu mengabaikannya setelah satu tahun ini kamu berusaha untuk membuat dirimu kuat. Mereka tidak pernah tahu perjuanganmu, Ta. Mereka hanya tahu kapan kamu akan memberikan keturunan untuk mantan terindahmu itu."

DIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang