New York

98 19 2
                                    

The Wizard

Present by Hopekies

.

.

.

New York, 22 Juli 2012

Seorang wanita tua dengan kacamata yang menggantung dimatanya tampak merapikan sebuah buku yang bertumpuk dihadapannya. Setelah semua tertata rapi dia menatap seorang pemuda berusia empatbelas tahun dihadapannya.

"Jadi, apa kau sudah menyesali perbuatanmu Jeffrey?" tanya wanita itu menatap salah seorang siswa disekolah itu.

"Aku tidak salah Mrs. Jane. Mereka yang menggangguku lebih dulu." bela pemuda itu.

Bagaimana tidak dia hanya disalahkan secara sepihak. Sedangkan dia bukan orang pertama yang memulainya.

"Tapi memukul teman itu hal yang salah. Termasuk kekerasan jika kamu lupa." balas wanita tua itu yang berstatus sebagai guru piketnya.

"Aku tidak mau." jawab Jeffrey acuh sambil membuang muka kesal. Kedua pipinya mengembung enggan menatap sang guru.

Sesungguhnya, gurunya pun mengakui bahwa ini tidak menjadi kesalahan pemuda itu seutuhnya. Namun, kekerasan tetaplah kekerasan. Bagaimana lagi, Jeffrey dinyatakan bersalah dalam hal ini.

"Kembalilah ke kelasmu. Mrs. Jane perlu berbicara pada orang tuamu."

Jeffrey, pemuda itu langsung meninggalkan ruangan gurunya sambil membanting pintu.

.

.

.

Daniel, pria paruh baya itu memijit pelipisnya ketika mendengar penjelasan dari Jessica sang istri.

"Kenapa anak itu selalu berulah dimana pun Jess." ucapnya sambil menatap sang istri.

"Aku akan bicara dengannya lagi. Sebaiknya kau istirahat saja." balas Jessica sambil memakaikan suaminya selimut sebatas dada.

Keduanya tidak menyadari, bahwa salah satu anak mereka melihat apa yang seharusnya tidak dilihatnya.

Dia kembali ke kamarnya, mengumpati dalam hati. Hingga suara langkah kaki berjalan kearahnya. Itu adalah ibunya.

Wanita berusia empatpuluh tahunan itu masih tampak awet muda dengan usianya. Dia mengecup pucuk kepala anak ketiganya, Jeffrey.

"Jeffrey, apapun yang kamu lakukan Mama tetap sayang kamu."

Bulir air matanya mengalir ketika wanita itu meninggalkan kamarnya.

Dia meruntuki dirinya sendiri yang selalu merepotkan orang tuanya. Membuat orang tuanya malu, membuat orang tuanya tidak bangga memiliki anak seperti dirinya. Banyak pikiran bercabang dan berkecambuk dalam benak pemuda itu.

Hingga sebuah langkah kaki dengan sepatu hak membuat nyalinya menciut. Wanita itu tentu bukan ibunya, dengan cepat dia menutupi wajahnya dengan selimut dan memejamkan matanya.

Namun, langkah kaki itu semakin terdengar nyata dan terus berjalan mendekati kamarnya.

Cklek.

Pintu kamarnya terbuka. Dari samar bayangan lampu di ruang tengah memperlihatkan dengan jelas seorang wanita memasuki kamarnya. Diapun berdoa menyebut nama Tuhan berkali-kali takut jika iblis atau apapun akan membahayakan nyawanya.

Langkah kaki wanita itu semakin mendekat kearah ranjang.

Jeffrey telah bersiap untuk berteriak jikalau memang wanita asing itu akan membunuhnya.

Makin lama, langkah kaki itu semakin berjalan mendekat dan—

Hilang.

Jeffrey, pemuda membuka selimutnya dengan wajah kebingungan sambil mengatur nafasnya yang tersengal. Ternyata sebuah tikus memasuki kamarnya yang berlari ke dekat ranjangnya.

"Hah, aneh sekali." pikir pemuda itu.

Ini bukan kali pertama dia merasa ada orang yang memasuki kamarnya. Namun, kejadian ini sudah ketiga kalinya. Dia tidak bercerita pada siapapun karena memang dia tidak memiliki satupun teman yang dianggap sahabat.

Semua teman brengsek dimata Jeffrey, pemuda itu tak percaya pada siapapun. Kecuali seorang, kakaknya.

Segera dia menulis pesan yang tak mungkin dibalas langsung oleh sang kakak detik itu juga.

To Matteo :

☑️ Kak, aku rasa ada yang aneh dengan rumah kita.
☑️ Aku pikir aku sedang berhalusinasi.
☑️ Tapi kejadian ini yang ketiga kalinya.

Setelah mengetik pesan itu tak lama ponselnya berbunyi pertanda notifikasi masuk.

Matteo?

Kembali dia membaca ulang nama yang tertera dan itu benar balasan dari sang kakak.

☑️ Jangan takut Jeffrey.

Balasan singkat itu tentu saja membuat pertanyaan besar dikepala kecilnya. Hingga tanpa sadar pemuda itu tertidur sambil menggenggam ponsel ditangannya.

Dan ketika pagi hari, dia menyalakan ponselnya yang mati karena kehabisan baterai. Pemuda itu pun terkejut.

Karena pesan dari kakaknya semalam hilang.

'Aku tidak menghapusnya, bagaimana bisa?' ucapnya bertanya-tanya dalam hati.

Hal yang lebih mengejutkan lagi, kakaknya Matteo pulang hari itu.

"Hallo Jeffrey," sapa Matteo ketika sang adik berjalan melaluinya.

Butuh seperkian detik Jeffrey untuk mencerna sebelum pelukan kecil menghambur padanya.

"I miss you so badly." ucap Jeffrey memeluk kakak sulungnya erat.

"Aku juga merindukanmu Jeff." balas Matteo sambil tersenyum.


TBC

Aku agak lupa alurnya, tapi kayaknya aku bakal nulis acak deh jadinya mungkin bakal maju mundur.
Kalo alur maju ga akan ketemu Johnny.

Ketemu sih tapi lama wkwk 😩😂






The WizardWhere stories live. Discover now