1

4.4K 356 27
                                    

Kageyama Tobio berdiri di sudut gimnasium. Iris mata bluberrynya mengedar ke seluruh ruangan. Terlihat bola voli melambung kesana kemari. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia melihat seorang setter dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Inilah saat dimana jalan seorang setter terbentuk dihidupnya. Perasaan itu meletup begitu saja.

Tobio kecil sangat bahagia saat melakukan toss pertamanya. Matanya berbinar dan bibirnya sedikit terbuka. Merasakan permukaan kulitnya bersentuhan dengan voli, melempar, dan menggenggamnya, rasanya sangat pas seolah voli diciptakan untuknya dan dia untuk voli.

Anak lelaki polos itu ditemani sang kakek. Si pria tua melihat potensi dalam diri cucunya. Kadang setelah berlatih di tempat latihan, kakek dan cucu itu akan berlatih lagi di halaman belakang rumah.

Tobio tersenyum, sangat lebar. Ia merasa bahagia saat melakukan toss yang baik. Bahkan bisa dibilang senyumannya kali ini yang paling lebar dan tulus dari yang lain. Sang kakek yang melihat menepuk-nepuk pelan kepala Tobio seraya tersenyum. "Kau punya senyum paling indah di dunia, Tobio"

Tobio kecil mengerjapkan mata, senyumnya semakin lebar. Kembali mereka berdua bermain voli hingga hari semakin petang. Tampak sang kakek kelelahan, napasnya tersenggal, dan ia pun menepi.

Musim dingin telah datang, udara menjadi lebih dingin dari biasanya dan butiran salju sesekali muncul. Tobio duduk berhadapan dengan kakeknya, mereka minum teh bersama. Dibanding dengan orang tuanya, sosok kakek dimata Tobio adalah orang terdekatnya.

Anak lelaki berambut raven itu sangat pendiam dan sulit mengutarakan isi hatinya. Maka dari itu di sekolah dasar ia tak memiliki teman. Ia bahkan tak tau apa yang menjadi ukuran seseorang dapat dikatakan teman. Jadi dia selalu merasa kesepian hanya saja tak bisa mengungkapkannya.

"Tobio, sebentar lagi hari ulang tahunmu, apa yang kau inginkan sebagai hadiah?" Si lelaki tua bertanya setelah menyesap tehnya.

Tobio terdiam, matanya melihat ke dalam gelas teh, melihat uap yang mengepul naik dari sana. "Tidak ada.."

"Kau mau mengadakan pesta ulang tahun seperti Miwa?"

Tobio menggeleng, meskipun dalam lubuk hati yang terdalam dia sangat menginginkannya. Berada di tengah orang-orang yang ia kenal dan mengenalinya. Diakui dan disayangi. Berbagi pelukan hangat, canda tawa, dan tiup lilin bersama. Dia sangat menginginkannya.

"Besok usiamu menginjak tujuh tahun, kau semakin besar dan kakek semakin tua.. Aku hanya bisa berharap yang terbaik untukmu, karena kau adalah anak yang baik.."

Tobio mengangguk. Setelah itu, semua begitu hening. Mata Tobio membulat, dihadapannya kepala sang kakek sudah tergeletak diatas meja. Tobio mendekat, menggoyangkan tubuh tua itu, empunya tak bereaksi sama sekali, ia juga terlihat tidak bernapas.

Si lelaki mungil menutup mulut dengan kedua tangannya. Air matanya meluber keluar begitu saja merasakan hatinya tersayat. Rasanya sangat pedih dan menyesakkan. Tobio segera menjerit memanggil orang rumah.

Hari itu, tepat mulai hari itu, Tobio kehilangan satu-satunya sosok terdekatnya. Sekarang ia benar-benar sendirian dan kesepian. Kakinya terasa dingin dan batinnya sangat sesak. Tobio tak bisa tidur, ia menangis dan menangis tanpa suara. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia diperkenalkan dengan yang namanya kehilangan.

.
.
.

Beberapa tahun dalam kekosongan dan kesepian, Tobio sampai pada titik menginjakan kaki ke sekolah menengah pertama. Di hari pertama ia sudah dikenal sebagai anak berbakat. Permainan volinya cukup diakui walau masih perlu diasah.

Dan sekali lagi, ia masih sendirian. Ia tidak memiliki teman untuk diajak bicara karena terlalu pemalu dan takut akan penolakan. Bagaimana jika ia dekat dengan seseorang dirinya akan kembali kehilangan. Rasa sesak yang menyiksa itu sungguh mengganggu pikirannya, ia tidak mau merasakan itu lagi.

Kini Tobio berdiri di ruangan gimnasium. Ia mulai berlatih dan ikut lomba. Ketakutan akan kehilangan membuat ia menutup diri akan empati. Semua ia dasarkan pada realita dan insting.

"Bisakah kau melakukan pukulan dengan benar?!!"
"Kau terlalu lambat!!"
"Melompatlah lebih tinggi lagi!!!"

Semua terdiam, rekan satu tim semua menatap kesal kearahnya. Tobio telah menciptakan tembok perantara diantara dirinya dengan rekan timnya.

Bukan seperti ini yang kuinginkan

Aku tidak bermaksud begitu

Wasit meniup peluit, permainan kembali di mulai. Mereka menang dan hari itu Tobio mendapat julukan Ou-sama. Salah jika mengira julukan raja artinya orang berkuasa yang disegani, orang hebat nan bertalenta. Karena arti julukan raja yang tersemat pada Kageyama artinya orang yang otoriter, semua tentang dirinya sendiri, mutlak yang menyebalkan, egois.

Kageyama bukan tak tahu arti sebenarnya julukan itu. Hanya saja ia tebal telinga dan tebal muka. Padahal dalam hati ia sakit. Terlepas dari keistimewaan dan bakatnya, ia tetap hanya seorang anak lelaki biasa. Ia hanya manusia yang juga punya perasaan.

.

Sore yang suram, Tobio berusaha mengesampingkan segala perasaan dan pikiran negatif. Ia mencoba latihan seperti biasa. Namun bisikan itu terus menggema.

"Dia itu egois"
"Dia hanya mau menang sendiri"
"Kalau dia pikir dia bisa sendiri, kenapa tidak main voli sendirian saja"
"Apa-apa selalu tentang dirinya sendiri, dasar egois"

Tobio menghela napas berat, ia menunduk dan menunggu giliran latihan servis. Suara pukulan bola menggema, si lelaki raven segera mengadahkan kepala. Servis itu sangat sempurna dan presisi, kemana tujuan sang pemukul maka disitulah bola akan mendarat. Mata Tobio berbinar kala melihat itu dan memujanya dalam hati.

"Oikawa-san memang hebat!"
"Woah, servis Oikawa-san sangat luar biasa!"
"Tidak salah dia menjadi kapten."

Oikawa-san

Mereka mulai latihan dan ini adalah hari pertama Tobio bertemu Oikawa. Saat mengetahui posisi lelaki itu adalah juga seorang setter, Tobio merasa semakin kagum padanya. Ia terus memperhatikan Oikawa yang menurutnya sangat menakjubkan.

Aku mau jadi sepertimu, Oikawa-san

Di mata Tobio, Oikawa memiliki segala yang ia inginkan. Ia bisa melakukan servis luar biasa, memberikan toss yang gampang dipukul dan seolah-olah memaksimalkan potensi spiker, ia dikelilingi oleh banyak orang dan semua orang suka padanya.

Seketika hati Tobio terasa cerah entah mengapa, Oikawa seperti mentari yang datang saat langitnya kelam. Dengan langkah yang ringan, Tobio berjalan kearah Oikawa yang tengah berlatih sampai malam.

"Oikawa-san, tolong ajari aku servis." Tobio sangat percaya diri dan bersemangat. Ia tak bisa menyembunyikan senyuman dan matanya yang berbinar. Ia sangat senang entah mengapa.

Tapi

Tatapan yang ia dapat justru sebaliknya. Lelaki bersurai coklat yang ia puja menatapnya seolah ia adalah monster. Menatapnya seolah dia adalah manusia paling menjijikan dan mengerikan. Senyum Tobio perlahan luntur, Oikawa tiba-tiba maju dan hendak menampar wajahnya namun beruntung dicegah oleh Iwaizumi.





My Pretty Kouhai (Oikage) EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang