10. Pelukan pertama

28.3K 3.2K 166
                                    

Adrian salah mengira kalau aku akan mendiamkan sikapnya kali ini. Aku tahu bukan sekali ini saja dia mengirimiku pesan seperti ini. Sejak aku menikah, hampir setiap saat ia melakukannya dengan menggunakan nomor asing. Awalnya aku mencoba tidak mempedulikannya, tapi lama-lama kelakuannya ini sudah menggangguku. Aku tidak mau kelakuannya ini membuat hubungan pernikahanku menjadi buruk. Jadi jangan harap aku akan diam saja.

Kupikir kau salah pilih lawan, sialan!

Tak ingin membangunkan Mas Libra, sepelan mungkin aku turun dari tempat tidur sambil membawa ponselku keluar dari kamar. Lalu segera bergegas menuju teras belakang untuk menyelesaikan urusanku dengan sibajingan satu ini.

"Apa maksudmu menghubungiku terus-menerus?" Tanpa tedeng aling-aling aku langsung menyemprotnya begitu Adrian mengangkat panggilanku.

"Rika!" Adrian terdengar kaget dengan aksiku barusan. Mungkin ia tidak menduga aku akan berani menghubunginya. "Rika, aku tidak percaya kamu menelponku balik." Ada nada bahagia terdengar di telingaku.

"Jangan sebut namaku, bung. Itu terdengar menjijikkan." dengusku keras agar dapat didengarnya. "Sudah kubilang agar jangan pernah lagi berhubungan denganku. Jadi apa maksudmu menghubungiku malam-malam begini?!"

"Aku merindukanmu."

"Omong kosong!" bentakku marah. Rasa sakit atas pengkhianatannya dulu masih belum hilang dari ingatanku.

"Aku berkata jujur, Rika. Kehilanganmu merupakan pukulan hebat bagiku. Tidak bisakah kita berteman lagi, Rika?"

Adrian sepertinya sudah gila. Apa dia gak sadar dengan apa yang dikatakannya. Berteman katanya? Jangan mimpi dia. Sampai mati pun aku tidak sudi mempunyai hubungan lagi dengannya.

"Dengar Adrian, kamu sendiri yang memilih jalan ini untuk kita. Jadi tidak pantas rasanya kamu yang terdengar seperti korban."

"Tapi aku sungguh menyesalinya, Rika. Seandainya waktu bisa diputar kembali, aku tidak akan pernah melakukan kesalahan yang membuatku kehilanganmu."

Bukannya terharu, aku malah merasa mual mendengar ucapan Adrian. Menyesal apanya, buktinya langgeng kok pernikahannya bersama Evelyn. Selama ini aku melihat pernikahan mereka baik-baik saja. Adrian memiliki istri yang cantik dan putra yang tampan, jadi dimana menyesalnya?

"Dengar Adrian, aku tidak peduli dengan masalahmu. Hubungan kita sudah lama putus. Jadi jangan pernah lagi coba menggangguku."

"Sebenci itu kah kamu kepadaku, Erika?"

Ya ampun, sepertinya Adrian ini lupa berkaca. Apa perlukah kuingatkan kembali apa-apa saja dosanya di masa lalu, biar dirinya sadar. "Sangat. Bahkan melebihi apa yang kamu pikirkan. Jadi sebaiknya menjauhlah dariku."

"Apakah suamimu itu membuatmu bahagia, Rika?"

Aku memutar bola mataku malas mendengar pertanyaannya itu. Sejak kapan pula kebahagiaanku menjadi urusannya  "Mas Libra membuatku bahagia," jawabku tegas. "Lagipula kehidupanku bukan urusanmu. Lebih baik kamu urusin saja keluarga kecilmu itu."

Terdengar hembusan nafas Adrian kasar. "Aku tidak bahagia Rika. Kehilanganmu membuat hidupku hampa."

Ckckck, masih sempatnya ia menggombal kepadaku. Seandainya saja Evelyn tahu bagaimana kelakuan suaminya ini mungkin sudah kejang-kejang dia. Apa perlu kuadukan saja ya kelakuan Adrian ini kepada Evelyn, biar tahu rasa ini mak lampir? Mungkin seru juga kelihatannya.

"Er..."

Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara Mas libra dari arah belakang. Cepat-cepat aku segera berbalik melihatnya.

"Siapa?" tanyanya tanpa suara.

Tanpa pikir panjang aku langsung mematikan ponselku. "Hanya orang iseng," sahutku sambil pelan untuk menutupi kegugupanku.

"Ngapain ditanggapi kalau orang iseng?"

"Ngeselin. Soalnya ganggu terus." Jawabku tidak sepenuhnya bohong. Emang bener kok Adrian ganggu aja malam-malam begini. "Mas Libra ada perlu apa sampai keluar kamar?" tanyaku mengalihkan pembicaraan kami

"Kebangun aja. Tahu-tahu kamu gak ada di samping Mas. Makanya Mas keluar cariin kamu." Wajahnya terlihat datar mengatakannya, namun hatiku tersentuh mengetahui ia merasa kehilanganku.

Oh Tuhan, bolehkah aku merasa tersanjung dengan perhatian suamiku ini?

"Kalau begitu ayo kita masuk kamar lagi, Mas. Angin malam tidak bagus untuk kesehatan." Ajakku sambil tersenyum lembut.

Tanpa membantah, Mas Libra mengikuti langkahku menuju kamar kami. Di dalam kamar keheningan kembali melanda. Aku terlalu segan untuk membuka pembicaraan. Jadi kuputuskan untuk naik ke tempat tidur kemudian diikuti oleh Mas Libra.

"Siapa Adrian?"

Mataku yang tadinya hampir tertutup sepenuhnya langsung terbuka saat Mas Libra menanyakan tentan Adrian. Jangan-jangan ia mendengar seluruh pembicaraanku tadi.

"Hanya seseorang dari masa lalu," jawabku memilih jujur. Tapi posisiku tetap terlentang tidak ingin menatap Mas Libra. Aku tidak ingin suamiku itu melihat kepahitan di mataku karena membahas masa lalu. Deritaku bukan untuk dibagi.

"Apakah Adrian yang tadi adalah Adrian yang sama dengan kakak iparmu?"

Tubuhku menjadi tegang mendengar pertanyaan Mas Libra. Bodohnya diriku, kenapa aku bisa sampai melupakan hal sepenting itu. Sekarang terlihat sekali aku mendustainya tadi dengan mengatakan bahwa orang iseng yang menelponku.

Mas Libra adalah seorang pengacara, tidak sulit baginya untuk mencari kebenaran bila dia mau. Karena itu kuputuskan untuk tidak menyangkal tebakannya. "Dia adalah orang yang sama," cicitku pelan tanpa berani memandangnya. Aku sudah pasrah menerima reaksi Mas Libra setelah ini. Siapa juga orang yang suka dibohongi oleh istrinya sendiri. Meskipun aku tidak sepenuhnya salah.

Terdengar helaan nafas kasar Mas Libra setelah mendengar jawabanku. Lalu tiba-tiba dia menarikku masuk ke dalam pelukannya.

"Mas!" pekikku kaget karena terkejut. Spontan aku langsung menggeliat ingin melepaskan diri.
Sayangnya tenagaku kalah kuat dari Mas Libra.

"Biarkan seperti ini dulu," bisiknya pelan di telingaku.

Aku mengangguk pelan dalam dekapannya. Seharusnya aku canggung atau risih dengan kedekatan ini, mengingat ini adalah pelukan pertama kami, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Perlakuan manis Mas Libra malam ini membuat hatiku merasa hangat.

"Er," Mas Libra memanggilku pelan.

"Hmm..." jawabku tak kalah pelannya. Kenyamanan yang diberikan Mas Libra membuat mataku jadi mengantuk. Tapi aku masih dalam keadaan sadar.

"Perlukah Mas khawatir terhadap iparmu itu?"

"Tidak perlu. Dia bukan orang sepenting itu," beritahuku tegas. Aku tidak mau Mas Libra menjadi salah paham. Adrian sama sekali tidak berarti bagiku. Bahkan untuk menganggapnya sebagai kakak ipar saja aku enggan. Hanya saja untuk menceritakan tentang kerumitan masa laluku kepada Mas Libra masih sulit untuk kulakukan. Aku tidak ingin dikasihani. Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Lagipula, tidak menutup kemungkinan kelak di masa depan Mas Libra juga mungkin akan berbuat hal yang sama seperti Adrian dan Dharma. Karena itu kuusahakan agar tidak terlalu membuka diri kepada Mas Libra.

"Tidurlah Mas," aku memberanikan diri untuk mengusap punggung Mas Libra. Kuharap ini dapat membuatnya cepat terlelap sehingga pembahasan tentang ini segera selesai.

"Kuharap besok kamu tidak tertular sakit Mas." Mas Libra bersuara di sela-sela kantuknya.

"Tidak akan, asalkan Mas terus memelukku sampai pagi," candaku asal tanpa bermaksud apapun. Tapi tak kusangka Mas Libra menganggap perkataanku dengan serius. Karena sampai keesokan harinya aku terbangun masih dalam dekapan Mas Libra. Pelukan yang hangat tapi tidak menyesakkan.










Suami PilihanWhere stories live. Discover now