1

24 2 1
                                    

"A man, though wise,
should never be ashamed of learning more,
and must unbend his mind."

- Sophocles -

I am that girl, sitting in a library, hampir setiap hari.

Risiko mengambil jurusan yang berhubungan dengan dunia tulis-menulis, tugas essay nyaris ada setiap hari. Tapi aku suka. Paling nggak, pikiranku bisa teralihkan dari hal yang nggak seharusnya aku pikirkan.

Dari Alex.

Berada di negeri yang asing, jelas menyenangkan. Dedaunan di halaman depan kampus mulai berubah warna dari hijau menjadi keemasan. Entah kenapa hari-hari di sini rasanya lebih singkat. Dan waktu siang, hawanya terasa lebih menyenangkan. Sejuk, tapi hangat.

Memang aku belum lama menginjakkan kaki di sini dan menyandang status sebagai mahasiswa S2---aku bahkan baru saja melalui seminggu penuh homesick yang membuatku melakukan video call dengan keluargaku hampir tiap hari. Kadang aku berharap jarak yang jauh ini, entah bagaimana, bisa menyeret benakku jauh-jauh dari rumah---jauh dari Alex. Tapi, aku benci bagaimana semuanya selalu menemukan cara untuk memaksaku kembali pada nama itu.

Seolah dari miliaran nama di bumi, cuma satu nama itu yang muncul lagi dan lagi di dekatku.

Alexa.

Alexandra.

Alexander.

Ralexia.

Tyalexis.

Mulai dari nama penyiar berita malam di TV streaming yang sering diputar Kazue, teman sekamarku; wanita penjaga perpustakaan yang berumur empat puluhan dan galak bukan main; cewek penjaga mesin kasir di kafeteria kampus; petugas keamanan dengan body kekar dan berkulit hitam yang sering beredar di sekitar taman dekat asrama; bahkan dosen mata kuliah creative writing-ku; mereka semua memilih nama panggilan yang sama---Alex.

As if the universe conspires to torture me.

Biasanya aku selalu beruntung dapat meja di dekat jendela yang menghadap ke halaman depan kampus. Kerainya selalu aku buka sampai pemandangan di luar sana kelihatan. Ada ketenangan yang berbeda kalau bisa bekerja sambil memandangi birunya langit yang begitu jernih, ditambah lagi bentukan-bentukan awan yang kadang-kadang seperti mengajak berimajinasi. Dan, terutama dari lantai tiga itu aku bisa menonton orang-orang berseliweran di luar sana.

Lama-lama aku mulai hafal wajah mereka, plus jam berapa mereka biasa lewat.

Kakek rambut putih yang sedikit bungkuk itu selalu menyapu daun-daun kering di halaman menjelang jam tiga sore. Cowok rambut merah yang mirip loper koran itu melesat melintasi jalan setapak naik sepeda gunungnya setelah jam di HP-ku menunjukkan jam 03:50 PM. Dan ada satu cowok berkemeja lengan panjang dan berdada kekar yang wajahnya mirip David Beckham melintas antara pukul setengah empat sampai jam empat sore dan selalu bersama gadis yang berbeda-beda---semua cewek itu bisa dibilang bergelayutan di lengannya.

Kalau butuh waktu break dari memeras otak, melongok ke luar jendela dan mengamati kelakuan orang-orang itu lumayan menghibur.

Tapi siang ini, waktu sampai di perpustakaan, meja favoritku ternyata sudah dipakai orang lain. Sebenarnya meja itu cukup untuk empat orang, tapi agak aneh juga kalau aku ngotot duduk di sana, sementara meja lain ada yang kosong.

Cowok yang duduk di sana menutup telinga pakai earphone sambil baca buku. Kakinya dia julurkan sampai ke bawah bangku di seberangnya. Cukup makan tempat.

Beda dengan pengunjung lain perpustakaan yang hampir semuanya sibuk memelototi layar laptop atau iPad dan memilih-milih buku dari e-library, cowok itu cuma memegang satu buku di tangannya.

To Kiss A StrangerWhere stories live. Discover now