Matahari

21 2 1
                                    

Gadis itu tengah menonton video permainan biola ketika pintu kamarnya diketuk. Gadis itu menekan tombol pause kemudian berjalan ke arah pintu, membukanya. Tampaklah wajah teduh bundanya yang berdiri di depan pintu. "Turun yuk, kak, ada tamu" ujar bunda. Gadis itu menatap bundanya heran, "siapa? Mau ketemu aku?" "Iya" jawab bunda. Masih dengan setelan baju tidur di balik jubah profesor-nya, gadis itu mengikuti bundanya turun ke ruang tamu.

 Masih dengan setelan baju tidur di balik jubah profesor-nya, gadis itu mengikuti bundanya turun ke ruang tamu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di ruang tamu sudah ada seorang anak laki-laki tengah duduk di sofa. Dia memakai kemeja flanel yang tidak di kancing, menampakkan kaos hitam dibaliknya. Ketika melihat ibu dan gadis itu datang, laki-laki itu segera berdiri, menatap gadis itu. Ini Aya? Tanya laki-laki itu dalam hati, menatap kasihan gadis di hadapannya. Separuh wajahnya rusak, dan mata kanannya yang di perban. Perban itu untuk melindungi mata barunya. Laki-laki itu ingat bahwa gadis ini kehilangan penglihatannya, dan keluarganya berhasil menemukan seorang pendonor.

Ketika dekat, gadis itu langsung tau maksud tatapan laki-laki di hadapannya. Tatapan kasihan. Gadis itu sudah terlalu sering mendapatkannya hingga dia hafal. Sementara laki-laki itu menyadari kesalahannya. Dia buru-buru memasang senyum hangat, menatap gadis itu bersahabat. "Halo, Aya. Kenalin, nama saya Matahari Cakrawala. Kamu bisa panggil saya Math. Tapi bunda kamu lebih sering manggil saya Ata." Gadis itu mengerutkan dahi. Apa katanya? Bunda lebih sering manggil dia Ata? Emang bunda kenal? Gadis itu beralih menatap bundanya, meminta penjelasan. "Iya, Aya. Ini Ata, anaknya Tante Dewi, kamu tau kan? Dia seumuran sama kamu" bunda menjelaskan. "Terus, kesini mau ngapain?"

. . .

"Gimana? Ngerti?" Tanya Math. Aya menatap bukunya sebentar, sebelum perlahan mengangguk. "Nah, sekarang kerjain sisanya. Gampang kan?" Tanpa menyahut, Aya sudah tenggelam dengan soal-soal. Math menatap tangan kiri Aya yang gemetar ketika menulis. Sementara tangan kanannya menjuntai tak bernyawa. Math tidak tau kalau kecelakaannya bisa sedahsyat itu. Selain kehilangan penglihatannya, syaraf tangan kanan Aya juga mati. Sekarang dia tidak lagi dapat menggunakan tangan kanannya.

"Math...Math!" Laki-laki itu tersentak, menoleh. "I-iya? Kenapa?" "Lo ngelamun! Nih, udah selesai" Aya menyodorkan buku tulisnya pada Math. Math menerimanya. Math tidak pernah tau seperti apa tulisan asli Aya dengan tangan kanannya, tapi ini... benar-benar berantakan. Math aga kesulitan mengoreksinya. "Gak kebaca, ya?" Tanya Aya menyadari kebingungan Math. "Enggak kok!" Bantah Math cepat, tak ingin membuat Aya tersinggung. Wajar, Aya mungkin belum terbiasa dengan tangan kiri.

"Nih, udah bener semua" Math akhirnya selesai mengoreksi, mengembalikan buku tulis Aya. Aya menatap tak percaya, "serius?" "Iya, Aya" jawab Math. Gadis itu menerima kembali buku tulisnya. Math baru akan membuka buku lagi ketika suara Aya membuatnya menoleh. "Panggilnya Rain aja! Jangan Aya. Gue juga manggil lo Math" ujarnya. Math terdiam cukup lama, mencoba mengerti. Memang kenapa? Aya memutar bola matanya sambil berdecak, "nama gue Rainaya. Di luar keluarga nama panggilan gue Rain" jawabnya atas kebingungan Math. "Oooh, jadi kamu mau dipanggil Rain? Tapi kalau saya maunya Aya gimana?" Tanya Math. Aya mendengus, "terserah." Math tersenyum. Pelajaran kembali dilanjutkan.

. . .

Kalau dihitung-hitung, sudah empat kali Aya menguap. Math tidak sengaja menghitung. Math meletakkan spidolnya, menutup buku. "Mau istirahat dulu, Ya?" Tanya Math. Tapi Aya malah menggeleng cepat, "lanjut aja. Dua menit lagi baru istirahat" jawabnya. "Yakin?" Aya mengangguk meyakinkan. Math kembali membuka bukunya.

Dua menit berlalu. Aya bernafas lega, meregangkan ototnya lalu meminum jusnya. Math menutup bukunya. "Kamu capek?" Tanya Math. Aya menurunkan gelas jusnya, "eum...jujur ya, Math, gue tuh paling gak suka fisika! Pusing!" Jawab Aya dengan ekspresi lucu. Math tersenyum. Antara karena melihat ekspresi Aya atau jawabannya. "Saya juga gak begitu suka fisika. Tapi kata ayah, kalau mau masuk teknik sipil itu harus pinter fisika dan matematika" jawab Math. Aya urung menenggak jusnya lagi, terdiam. Math sih enak, batin Aya iri.

Math gak mengalami kecelakaan yang bikin dia harus kehilangan beberapa anggota tubuhnya, dengan kata lain cacat. Math bisa mengejar mimpinya tanpa merasa kurang. Belum lagi dengan otak yang cemerlang, mudah bagi Math meraih mimpinya. Lalu aku? Batin Aya lagi. Syaraf tangan yang putus, sebelah wajah yang rusak, mata yang pecah, dan dia juga sempat patah tulang. Kecelakaan itu benar-benar mengambil semua miliknya tak bersisa. Bahkan ayahnya. Sekarang Aya terlalu takut untuk keluar, apalagi bermimpi. Mana mungkin dia menggesek biola dengan satu tangan?

"Lo mau masuk teknik sipil?" Tanya Aya setelah terdiam, meneguk jusnya. Math mengangguk tersenyum, "iya, do'ain ya" ujarnya. Aya mengangguk.

. . .

"Bunda nitip ini" Math menyerahkan sebuah kotak bekal. Aya mengambilnya dengan tangan kiri, membukanya. Pizza enam potong. Aya baru ingat kalau ayah Math punya restoran pizza, padahal bunda masih sering beli sampai sekarang. Aya lalu menutup kotak bekal itu lagi, "bilang ke bunda lo makasih" ujar Aya. Math mengangguk, "ntar di sampein."

"Hari ini belajar apa?" Tanya Aya. Math membuka tas sekolahnya, "Aya maunya belajar apa?" Tanya Math tanpa menoleh. "Kan Math gurunya!" Protes Aya. Math tersenyum, mengeluarkan buku paket biologi dan menunjukkannya pada Aya. Aya menatap gambar cheetah berlari di sampul bukunya. "Kenapa ya, Math?" Tanya Aya membuat Math yang sedang mencari spidol menoleh. "Setiap buku biologi pasti gambar cover-nya itu hewan, kenapa gak—" Aya berhenti untuk berpikir "—pohon apa gitu? Atau manusia? Kan semua itu juga di bahas di biologi" ujar Aya. Math tersenyum, "saya gak tau, Aya. Bukan saya penerbitnya. Tapi kalau kamu mau, nanti saya request ke penerbitnya; mas, mbak, nanti kalau mau nerbitin buku paket biologi sampulnya jangan hewan. Tapi pohon apa gitu, atau manusia. Soalnya semua itu juga kan di bahas di biologi" Math berusaha menirukan gaya bicara Aya tadi. Aya mendengus, malu sebenarnya. Sementara Math tertawa.

Sayap putihWhere stories live. Discover now