Dua bulan berlalu, sekarang saatnya melaksanakan program donor darah yang diadakan setiap tahun sekali di sekolah.
Saat ini, semuanya telah berpakaian rapi dengan setelan putih-putih berkalung tanda pengenal di dada terayun angin. Meja di dekat gerbang sekolah telah disiapkan untuk menyambut tamu peranti lakukan pendaftaran.
Gilang juga Desri mengenakan kemeja putih berbalut rompi merah dan celana putih. Dia nampak gagah kalau begitu.
"Selamat bertugas," Ucap Gilang merapikan syal oren Bintang di tangga.
Bintang senyum sipu, lalu menuruni tangga untuk membagikan brosur donor darah ke para pelajar yang baru datang. Saat jalan di halaman, semburat keceriaan hatinya menguar. Bintang bahagia acap kakak kelasnya merapikan syal miliknya.
Bintang mengulurkan brosur donor darah pada pelajar yang baru tiba dengan berdiam di tengah lapang. Menyungging senyum ramahnya. Setelahnya dia lanjutkan menuju dapur, membantu membuatkan teh manis sesuai devisi yang dia bawa yaitu konsumsi.
Bintang mengocek tehnya dengan sendok kecil lalu menatanya di nampan agar mudah dibawa, Agnes sibuk menyediakan teh baru untuk dibawa Bintang nanti. Keduanya kompak, Agnes membuat dan Bintang mengantar atau sebaliknya.
Bintang mengantarnya dengan memegang nampan berisi teh manis dalam gelas ada lima. Menuju kelas miliknya yang dijadikan ruang donor.
Pendonor berisitirahat di kursi khusus lalu Bintang membagikannya untuk diminum. Sejenak, dia melihat aktivitas PMI dengan pendonor. Agak bergidik memang saat kantung terisi darah segar. Dan tahu, Gilang di kursi itu ikut mendonorkan darahnya bersama Desri. Yang sedang telentang dengan raut nampak lemas.
Bintang jalan mundur lalu kabur di koridor takut dipanggil untuk mendonor setelah tehnya dia taruh di meja. Setibanya, dia menutup pintu dapur dengan keras seraya menarik napasnya yang tersengal. Agnes yang membuat teh alisnya hampir bertaut dengan kedatangan rekannya yang seakan bertemu dengan musuh bayaran.
"Bawa lagi, ya." Titah Agnes saat nampannya sudah ada teh manis siap diantar. Bintang menggelengkan kepalanya cepat dan duduk di kursi pelastik pendek di bawah.
"Lo kenapa?" Tanya Agnes.
"Lo aja yang antar. Gue takut." Terangnya memasang wajah resah.
Agnes ketawa kecil mendengar ucapan rekannya. Dia langsung saja mengambil kendali, membawa nampannya dengan santai menuju luar untuk diantar. Bintang menutup lagi pintunya hingga benar-benar tertutup rapat juga dikunci kuat. Dia lega dan mungkin akan berdiam di sini hingga acaranya usai. Dia takut dipanggil terus disuruh donor oleh Gilang. Tidaakk! Terlalu mengerikan. Bintang menjentikkan kompor untuk memasak air mengisi tehnya lagi dengan yang baru. Dia akan melupakan itu dan kembali bersikap biasa.
Bekas gelas teh yang belum dicuci, dia bersihkan di air wastafel lalu dilap hingga kering. Ditata lagi di nampan siap diisi ulang. Gawainya bergetar dari atas kitchen set. Dia berseru pada asisten digital sejenak suara Agnes terdengar.
"Tolong bawa empat gelas lagi, diantar ke atas. Terima kasih," Tuturnya lalu Bintang menyiapkannya dengan mulai mengucur air dari panci yang sudah matang.
Dirinya jalan pelan-pelan juga agak gemetar di nampan sangking takut di donor. Dia lirik kanan kiri melihat situasi dan rupanya aman sebab hanya ada pelajar kelas sepuluh, sebelas, hingga dua belas yang lalu lalang menikmati rehat yang lama untuk ikut serta acara. Hatinya lega bukan PMI yang berlalu se arah.
Bintang intip-intip dari kaca jendelanya melihat Gilang tidur telentang di kursi khusus itu. Wajahnya tak ceria juga butuh sesuatu agar ceria lagi. Dia mendesis pada Agnes yang berdiri menonton tatapannya pada Gilang yang kasihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Sunset In Skyline [BL]
Teen FictionBINTANG Antares Rifki Pradana, dulu pernah pernah menjadi salah satu korban perundung SMP. Kisahnya terlupakan kendati berteman dengan salah satu gadis bernama Agnes sejak kelas tiga SMP. Ia sudah mengira perbedaan dalam dirinya seringkali dijadikan...