10. Hanya Menuruti

42 12 0
                                    

Rambutku sudah terlepas, beberapa helai di antaranya terjatuh di lantai. Rambutku juga menjadi kusut. Untungnya tidak botak, kalau botak ... tak bisa membayangkan jika mahkotaku hilang begitu saja.

Aku menatap siapa yang menolongku. Aku menengadah, ternyata ... seseorang yang sangat aku benci.

"Barra? Lo ngapain ke sini? Tanpa suara pula. Lo tau sopan santun gak, sih? Ini rumah orang, harusnya lo ngucap salam," ucapku memalingkan wajah.

Barra hanya tersenyum, aku langsung memalingkan wajah karena tak ingin melihat senyumnya yang membuatku muak.

"Lo ngapain? Kalo gak ada keperluan, mending lo pergi! Gue lagi sibuk!" ujarku dingin.

Aku menjauh darinya. Tapi tunggu dulu, ini kamarku. Barra memasuki tempat yang sangat pribadi. Harusnya tak boleh, 'kan?

"Heh! Ini kamar gue, lo pergi dari sini! Sana! Gue timpuk pake guling lo!" Aku mengambil guling di kasur, ingin memukul wajahnya yang menyebalkan itu.

Hap!

"Rin, gue kangen sama lo yang kayak gini." Aku terbelalak, ia menangkap guling yang kulempar dan tersenyum di baliknya.

Aku langsung mendatarkan wajahku. Menyuruhnya keluar dengan nada yang berbeda dari sebelumnya, dingin. Ia pun menurut tanpa kata-kata, namun terus tersenyum.

Ketika ingin menutup pintu kamar, suara tak asing menyapa dari dapur. Aku menengok ke sumber suara, begitu pun Barra.

"Barra, kamu ke sini? Mau ajak Erin pergi, ya? Bagus kalau gitu, kamu tungguin Erin siap-siap, ya." Ibu malah begitu gembira akan kedatangan Barra. Ia menatapku. "Erin, kamu siap-siap yang cantik, ya."

"Hah? Bu, Erin gak mau pergi. Apalagi sama dia!" Aku menatap sinis Barra, membuat senyum Barra menurun.

"Kamu kenapa, sih? Bukannya kalian sahabatan sejak kecil? Tapi kenapa sekarang seperti ini?" Ibu menatap heran kami.

"Kita gak apa-apa kok, Bu. Kita emang kayak gini," ujar Barra tersenyum.

"Hm? Tapi kok seperti marahan, ya? Aahh, Ibu tau, biasanya kalau benci itu jadi cinta. Iya, 'kan?" Ibu mengayunkan telunjuknya di atas kepala, menerka jika kami sedang bertengkar.

Aku tak mau memberitahu masalahku dengan Barra kepada Ibu. Karena bagiku, itu tak akan menyelesaikan masalah. Aku merupakan orang yang tertutup.

"Mungkin begitu," ujar Barra. Sepertinya ia juga tak mau memberitahu Ibu.

"Kalau begitu, kalian jalan bareng biar baikan lagi. Erin, kamu siap-siap!" Ibu mendorong tubuhku ke dalam kamar.

"Eh! Eh! Eh! Bu, Erin masih punya kaki!" teriakku.

"Iya, Ibu tau! Tapi kamu lelet kayak keong! Mending didorong!" balas Ibu, aku hanya memutar bola mata.

Jadi, aku akan pergi bersama Barra? Tidak, aku tak mau. Tetapi saat ini aku bisa apa? Aku hanya bisa menurutinya. Untuk kali ini.

Regretted Hope [Tamat]Where stories live. Discover now