_25 Monster

321 105 2
                                    

Luke bertepuk tangan pelan setelah sampai di pinggiran kebun sawit, di mana tempat itu berbatasan langsung dengan wilayah pesisir berupa hutan bakau yang tidak begitu luas, "Bagus, kita dikepung."

Mereka ternyata bergerak lebih cepat dari yang diduga, bahkan helikopter sudah diterjunkan menyoroti perairan sekitar. Para penjaga keamanan berkeliling di tepi pantai, seakan membatasi jika siren masih berada di wilayah darat, juga mengawasi jika siren sudah kabur ke laut.

Andrew beropini, "Tidak, mereka sedang melakukan penjagaan sekaligus pencarian di pantai. Kita belum ketahuan, mereka juga tidak tahu wujud Sea... yang... punya kaki," ujarnya seraya melirik gadis siren itu dari sudut mata. Sesungguhnya Andrew tidak begitu terkejut dengan kebenaran ini, warna iris mata siren itu terlihat sama persis dengan Sea, seperti yang terasa janggal belakangan ini. Symphoni memekak juga kondisi ketika ia pertama kali bertemu dengan gadis itu.

"Kita lewat seperti orang biasa saja, yang tidak tahu apapun," usul Luke.

Sea menatap waspada para pria berseragam yang berjajar rapi di pinggiran pantai, tidak mungkin kalau ia akan lolos begitu saja, pasti mereka paling tidak akan menyapa, "Tapi wajahku sempat dilihat dua orang penjaga tadi."

Andrew mendekatinya, mengaitkan Resleting jaket Sea juga memakaikan tudungnya, "Sekarang bersikap santai, anggap diri kita pelancong yang sedang berjalan-jalan."

Mereka bertiga akhirnya keliar dari perkebunan sawit, lantas sampai ke pesisir di mana butiran pasir sudah terasa pada telapak kaki. Andrew sebagai pemimpin jalan tiba-tiab berceletuk, sebab melihat satu orang penjaga berlari kecil mendekatinya, "Tunggu, kita mau kemana?"

"Pulang ke pondokku," bisik Luke.

"Hey, sedang apa kalian?" Sapa pria itu, sontak menghentikan langkah ketiganya.

Luke melontarkan tatapan datar, seraya menelungkupkan kepala Sea agar wajahnya tidak terlalu diekspos, "Kau tidak lihat? Kami sedang jalan-jalan."

Pria itu terdiam sejenak, "Aku pernah melihatmu, Professor Luke, kan?"

Luke mengangguk, ia cukup terkejut karena ada penjaga yang mengenalinya. Padahal selama ini ia rasa sudah menjadi pribadi yang tertutup, kolot, juga sulit ditemui ketika turun tangan dalam profesinya. Tak ingin terjadi kesalahan, Luke mengalihkan pembicaraan, "Kenapa ramai sekali di sini?"

"Siren itu hilang, Prof." Ujarnya penuh rasa sesal, "Dia memecahkan akuarium lalu kabur lewat jendela yang terhubung langsung dengan gudang, tapi yang janggal, jejak darahnya menghilang di jendela, tidak sampai masuk gudang."

"Itu tidak mungkin, akuarium sudah dirancang khusus. Sebelum-sebelumnya makhluk itu kelihatan tidka berdaya di dalam karena biusnya, mana mungkin tiba-tiba bisa memecahkannya," sanggah Luke. Sejujurnya si penjaga merasa aneh dengan sikapnya, ketika para peneliti lain bersikap heboh saat dikabari, respon Luke ternyata terlalu sederhana.

"Kau harus pergi melihatnya sendiri."

"Oke, baiklah. Kalian sudah menghubungi pimpinan kan?" Tanyanya lagi, basa-basi.

"Tentu," angguk pria itu, "Tapi Prof, apa yang kau lakukan dari kebun sawit? Aku melihat kalian berjalan dari arah sana."

Luke gelagapan, begitu pula Andrew, "Ah, hanya mengatasi masalah asmara anak muda... bukan urusanmu," ia menuding Andrew dan Sea.

"O-oh, maaf," tampaknya pria itu masih ingin menahan Luke lebih lama, "Boleh ku tanya lagi?"

Luke mengangguk karena tidak ingin dicurigai.

Pria itu menuding kebun sawit, lebih tepatnya tempat keluar ketiga orang yang menjadi lawan argumen, "Sejak kapan kalian di sana? Barang kali ada yang melihat siren itu berada di kebun sawit."

Andrew tiba-tiba menyela, "Dia pasti masih di gedung, bersembunyi di dalam sana. Karena bagaimanapun makhluk berekor itu tidak akan bisa kabur dengan cepat, dia tidak bisa berjalan."

"Benar, kalau begitu aku harus kembali bekerja," ujarnya sambil berpamit pergi, 'Kenapa dia kelihatannya tidak terkejut sama sekali mendapati kenyataan kalau siren calon bahan penelitan mereka menghilang.'

---

"Luke, kau tidak pandai berbohong. Mereka pasti mencurigaimu," kata Andrew sesaat setelah Sea menutup pintu pondok kediaman Luke. Ketiganya kompak duduk di karpet dekat sofa sambil membentuk posisi melingkar, namun ada meja di tengah-tengah.

"Aku sudah berusaha, kalian bahkan tidak membantu menjawab sama sekali."

Sea menyela dengan suaranya yang lembut dan halus, "Ku pikir kalau kita saling menyahut, akan semakin hancur."

"Ah, sudah... jangan berdebat, aku lelah," Andrew merebahkan kepala.

Luke memandangnya sejenak, sebelum mulai bicara mengenai topik sensitif, "Andrew, kau harus jelaskan padaku, kenapa kau berpihak pada kami."

"Bukankah aku juga harus bertanya begitu padamu?" Jawab lelaki itu.

"Aku pemimpin koloninya."

"Kau... juga siren?" Andrew tertawa, sebenarnya ada berapa banyak siren di dunia ini? Bagaimana cara mereka kamuflase? Menyesuaikan diri dengan suhu, cuaca, bahkan lokasi yang ditinggali. Ia melihat sendiri betapa mengerikan wujud Sea saat menjadi siren, tapi mengapa postur wajahnya berubah drastis menjadi sangat cantik bagai bidadari. Matanya sama sekali tidak berkedip dalam beberapa menit karena terlarut dengan betapa rupawan gadis bersurai panjang itu.

"Lebih tepatnya raja para siren," koreksi Luke.

"Unik sekali, apakah kehidupan kalian benar-benar seperti jenis ikan di laut?" Andrew tidak mamu membendung pertanyaan yang terus bermunculan di kepala. Meski tahu baik Luke ataupun Sea akan segan menjawab, ia tetap melontarkan pertanyaan itu, "Lalu, bagaimana caramu merubah ekor menjadi kaki layaknya manusia?"

"Manusia selalu menanyakan hak yang sama, terutama peneliti sepertimu," Luke tersenyum miring, ia memandang Sea yang terus menundukkan kepala, "Sebelum itu, tolong jelaskan apa motivasimu melepaskan Sea tadi? Aku yakin dia tidak akan bisa memecahkan kaca akuarium sendiri. Kau juga yang sudah mengarahkan seluruh kamera CCTV menghadap ke atas kan?"

Andrew bersidekap, "Anggap saja aku sedang mengulurkan tangan untuk bantuan. Yang jelas, aku tidak memiliki niatan buruk pada kaum kalian."

"Aku yakin otakmu tidak sesederhana itu, selama tujuh puluh tahun menghuni daratan, aku tidak pernah menjumpai manusia yang murni baik pada sebangsaku," balas Luke sambil memicingkan mata.

Mata Anderew melotot seketika, "Tujuh puluh... tahun?"

"Usia kami sudah mencapai ratusan," sela Sea seraya tersenyum. Diam-diam Andrew terlarut akan seulas garis bibir tersebut.

"Seperti paus biru?"

"Jauh lebih tua dari mereka."

Luke merasa risih dengan sikap yang ditunjukkan keduanya, walau tidak begitu jelas, tapi ia tahu jika itu untuk menunjukkan gestur saling tertarik. Luke buru-buru menyelesaikan kejadian malam ini, "Andrew, terima kasih atas bantuanmu malam ini. Tapi sebaiknya kau manusia tidak lagi mengusik hidup kami, aku dan Sea akan kembali ke lautan dan sepertinya tidak akan menginjak daratan lagi. Kami sudah trauma dengan peristiwa ini, ku harap kau tidak membeberkan keberadaan kami, kebaikanmu akan terus dikenang kaum siren."

To be continued...

History Song Of The Sirens [] Lee knowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang