_29 You Look So Beautiful

293 100 4
                                    

Liza menyeret kopernya mendekati Andrew, kebetulan posisinya sedang berjauhan dari yang lain, sehingga pertanyaan sekaligus sindiran bisa ia lontarkan, "Andrew, Seanna langsung pulang sendiri?"

"Aku harus mengantarnya, jadia kalian bertiga bisa bisa pulang dulu," ujar Andrew, sejenak terjeda karena  ia tengah sibuk berbalas pesan dengan atasan. Orang itu tak hentinya mempermasalahkan perkara hilangnya siren dari gedung oseanograf, padahal para arkeolog tidak ada sangkutannya--kalau saja ia tidak menculik Sea.

Gadis itu menaikkan alisnya, "Kenapa begitu? Kau bisa memberinya uang untuk ongkos kereta."

"Em, aku sudah berjanji mengantarnya sampai rumah, lagi pula tidak enak kalau hanya memberi uang angkutan."

"Kalau begitu aku ikut," kata Liza telak, dengan keputusan finalnya.

Andrew menggeleng seraya tersenyum, "Tidak perlu, kau pasti lelah. Lebih baik segera pulang dan tolong sekalian jenguk ibuku."

Mendengar hal itu, Liza semakin mengerutkan kening sebal, "Kenapa kelihatannya kau sangat peduli padanya, bahkan terlalu. Itu berlebihan! Kalau dengan alasan tolong-menolong atas nama kemanusiaan, Joseph sebagai lelaki seharusnya melakukan hal yang sama 'kan? Tapi dia kelihatan tidak peduli, karena memang dengan memberi uang angkutan pesawat juga kereta saja sudah cukup. Tidak perlu diantar sampai rumah!"

"Terserahlah apapun katamu, aku akan mengantar Sea sampai rumah, apa kau tidak lihat wajah polosnya yang mudah ditipu itu?" Lelaki itu menuding perempuan yang duduk menunduk di tengah para manusia modern—hampir semuanya memandang ponsel, bahkan yang sedang berjalan juga.

"Sea? Namanya Seanna, apa itu panggilan khusus?!"

"Maaf, aku salah sebut."

Liza bersidekap dada sambil menyelipkan helaiam rambut ke belakang telinga, "Dua jam mengantar Seanna harus cukup, aku menunggumu di rumah," gadis itu kemudian berlalu sembari menarik kopernya menjauh.

"Kau tinggal serumah dengan dia?" Celetuk Sea, yang mendadak berdiri di belakang Andrew.

"Tidak, rumah kami bersebelahan. Jadi dia menganggap rumahku seperti tempat tinggalnya sendiri."

"Lalu bagaimana denganku? Tidak mungkin 'kan harus berjumpa dengan Liza setiap hari?"

Andrew melempar senyum tipis, "Iya, tidak mungkin. Jadi kau akan tinggal di apartemenku."

"Apartemen?" Sea sudah bisa mengira, apartemen mungkin serupa dengan rumah, sama seperti Luke yang memberi sebutan 'pondok' pada kediamannya di pesisir.

"Aku punya apartemen dinas, jarang ditempati karena sebenarnya aku lebih suka di rumah bersama ibu. Tapi karena ada kau, mungkin akan lebih sering ku kunjungi."

Sea mengangguk semangat, "Baiklah, apa tempatnya dekat dengan laut? Seperti pondok Luke?"

"Tidak, bangunannya ada di lantai lima. Gedung tinggi seperti itu," tudingnya pada bangunan bertingkat dan berjajar hampir di setiap sudut kota. Andrew menarik Sea segera menyusuri trotoar ketika melihat ketiga temannya sudah mendapat taksi untuk tumpangan pulang, Joseph dan Ella sempat melambaikan tangan padanya, tapi Liza justru tidak minat melirik sekalipun.

"Ya ampun, lalu bagaimana kita naik?" Kata Sea, masih fokus dengan 'rumah' yang sulit dijangkau itu, "Aku tidak pernah melihat ini sebelumnya, ternyata manusia memang suka dengan hal-hal baru yang mengejutkan, dulu rumah-rumah hanya setinggi kepala kita dengan atap jerami dan lantai tanah. Sama dengan kapal, dulu kebanyakan dari kayu tapi sekarang lapisan luarnya terbuat dari benda keras, puingnya terkadang menumpuk di dasar tidak bisa terurai."

Andrew merujuk pada pengetahuan Sea terhadap masa lalu, gadis muda itu kelihatannya sudah hidup sangat lama, "Kau pernah mengunjungi daratan sebelumnya?"

"Aku hanya melihat rumah nelayan dari pesisir," Sea menggelengkan kepala karena tahun ini adalah tahun pertama ia menginjak tanah tanpa air, "Di pinggir pantai rumahnya masih sangat toleransi, tapi kalau di kota ternyata begini semua. Apakah ini cara menghemat lahan?"

"Iya, wah ternyata kau mengerti banyak hal," Andrew begitu takjub, siren ternyata jauh lebih baik dari yang ia duga.

"Sebenarnya aku suka kehidupan daratan, kalau saja seluruh manusia bisa menerima jati diriku, sepertimu. Siren bisa hidup berdampingan di apartemen tanpa harus mengurung diri di palung yang dalam dan gelap."

"Palung itu rumah kalian?"

"Lautan rumah kami, tapi palung persembunyiannya. Andai suatu hari terjadi, aku akan balas mengajakmu berkeliling samudra. Tapi, kelihatannya sulit karena binatang laut tak hanya kami," Sea tertawa membayangkan ia berenang bersama Andrew sambil dikejar hiu.

"Entahlah Sea, kau mungkin tidak akan suka setelah beberapa hari menetap di daratan apalagi perkotaan padat penduduk seperti ini. Kami selalu bekerja... bekerja... lalu menghasilkan uang sampai menggunung."

"Bagus, kau bisa beli apapun!"

"Yah, bahkan aku tidak pernah menginginkan apapun. Oh, apa kau mau kudapan?" Mereka mendadak berhenti ketika melihat kedai kecil pinggir jalan sedang ramai.

"Yang jelas bukan dari lautan."

"Itu makanan inovasi, roti panggang yang diberi keju mozarella warna-warni. Sebenarnya ini sudah tidak baru lagi," keduanya berakhir ikut antre. Sampai beberapa menit berlalu, Sea pertama kalinya memegang roti panggang, dan langsung memberi gigitan besar.

---

Sea menatap takjub pemandangan kota dari jendela besar apartemen Andrew, rasanya seperti naik pesawat, sayangnya semalam ia tidak bisa melihat pemandangan siang dari atas karena jadwal penerbangannya malam hari.

Lama mengekspresikan ketertarikannya, sampai tidak sadar Andrew telah menyiapkan makanan siap saji yang dia pesan online,"Membicarakan tentangmu dengan ibuku, apa tidak masalah? Aku yakin dia akan bersikap bijak, sama sepertiku. Karena mungkin, kita akan sangat butuh bantuannya."

Sea berbalik, lantas segera duduk di sofa seberang sembari mengendusa aroma ayam goreng dibaluri saus barbekyu. Ia menegakkan tubuh, membalas ucapan Andrew, "Coba pancing dulu bagaimana pendapatnya, jangan langsung mengatakan kalau kau menyembunyikan siren."

"Aku juga berniat begitu," Andrew membuka box lain yang ternyata berisi dua minuman warna hijau disertai bola-bola hitam menggumpal dibawah cup, "Sudah, lupakan dulu. Ayo makan siang, aku akan menelepon ibuku dulu, setelah itu kita coba hubungi Luke."

Andrew berniat langsung menelepon ibu, tapi jemarinya malah menekan ikon kamera, "Sea," ia lantas membdik gadis di hadapannya yang tengah disibukkan dengan ayam goreng, "Cheese..."

"Apa itu?" Tanya Sea setelah Andrew tertawa menatap benda kotaknya.

Andrew menunjukkan foto yang ia ambil, tidak terlalu bagus tapi karena objeknya luar biasa jadi tampak sempurna, "Aku akan menyembunyikan folder ini."

"Kenapa kau memotretku?"

"Karena kau terlihat... cantik."

To be continued...

History Song Of The Sirens [] Lee knowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang