“Terus aja kamu bilang ‘aku Sea, bukan Hana’ ke semua orang! Nggak sekalian aja kamu buat pengumuman di baliho besar!” Gavin berteriak keras di dekat telingaku. Kontan membuatku memicingkan mata setengah menunduk karena aku tak suka bentakan, meski sering mendengar caci maki papa dan mama.
Sepeninggal bu Erlan dan bu Wira, Gavin menuntunku masuk. Kami meninggalkan Yunita di teras depan, tentu dia terjebak dalam galau. Sesekali aku melirik wajah Yunita di balik kaca ruang tamu, ditekuk-tekuk dan murung. Lalu beralih pada Gavin yang masih lengkap dengan seragam lorengnya, dia berkacak pinggang sambil memunggungiku.
“Terserah akulah!” gumamku lirih, tapi dia berhasil mendengarnya.
“Apa?” ulangnya dengan mata geram. Aku hanya berani melirik sedikit.
Namun, entah perlawanan ini muncul dari hati yang mana, aku langsung memberinya tatapan tajam dan lurus. “Ini sama aja dengan kamu bilang akan pulang cepat, tapi nyatanya kamu pulang siang!” bentakku ganti.
Gavin menyipitkan matanya tidak percaya. “Analogimu nggak nyambung, Hana. Bagaimana bisa kamu beralasan seaneh itu.”
“Memangnya kenapa, Pak? Apa aku salah? Setiap orang bisa berbuat seenaknya, ‘kan? Setiap orang boleh berjuang dengan caranya sendiri,” tanyaku dramatis seraya duduk lemas di sofa. Aku menatapnya nanar seperti meminta belas kasihan atas masalah ini.
Memang benar, pandangan tajam Gavin itu mengendur. Dahinya berkerut seraya bersimpuh di depan lututku. Tangan berotot berhias jam kulit hitam itu memegang salah satu lutut lemas milik Hana ini. “Kamu berjuang untuk apa, Hana? Sebenarnya kamu ini kenapa? Semakin hari sikapmu semakin aneh. Sikapmu tidak masuk akal, cenderung ingin lepas dariku,” tebaknya menelisikku.
“Apa yang sedang kamu rencanakan, Hana?” berondong Gavin karena aku hanya bungkam. Takut salah membuat jawaban.
Kuhindari tatapannya dengan menatap ke arah Yunita di teras depan saat sore mulai menuruni hari. “Bisakah aku bicara dengannya? Kasihan dia, Bang,” pintaku sambil menyebut panggilan akrabnya.
“Tidak!” Gavin berdiri dengan tatapan tegas lagi. “Kalian nggak boleh ketemu dan bicara lagi! Terakhir kamu mengiris tanganmu, dan aku nggak mau hal aneh terjadi lagi, apalagi di rumah ini!” ujar Gavin setengah berteriak sambil menunjuk lantai yang dipijaknya.
“Please, Pak Gavin … kumohon!” pintaku memelas sambil menggosokkan kedua tangan. “Cuma Yunita yang bisa bantuin aku!”
“Nggak!” tolak Gavin keras. Tanpa ingin berkontak mata denganku pula. “Akan kuusir dia!”
“Abang!” panggilku seperti cara Hana memanggilnya. Namun, dia tidak bergeming.
Aku mengejarnya sampai ke ambang pintu yang menjadi pembatas ruang tamu dan beranda depan. Dengan spontan kurengkuh tangan besarnya dan langkah itu pun tertahan juga. Dengan nanar, Gavin menatapku setelah berbalik badan. Bibir bawahnya menggantung, mata sedihnya mendung. Rupanya dia kembali bersedih atas sikapku.
“Apa yang sedang kamu rencanakan, Hana? Kenapa kamu sangat membenciku, apa salahku?” berondongnya pelan. Suara itu merasuk menusuk gendang telingaku. Sakit sekali harus melukai orang baik hati seperti dia.
Aku menggeleng pelan. “Jiwa ini hanya sedang memperjuangkan nasibnya, Bang. Dan hanya Yunita yang bisa membantuku.”
“Kenapa harus Yunita? Dia bukan teman yang baik untukmu!” tuding Gavin menahan suara.
“Dia tahu semua, Bang!” Aku menatapnya nanar. “Dia tahu semua, termasuk pramugari yang menyelamatkan Hana, istrimu ini. Dia adalah aku ….”
“Sea …,” ucap kami hampir berbarengan. Bedanya, dia mengucapnya dengan remeh tatkala aku bersedih saat menyebut namaku. Tetap saja dia meremehkan semua penjelasanku karena cacat logika.
“Kamu pasti tahu sesuatu, ‘kan, Bang?” tegasku tanpa mempedulikan rasaku lagi.
“Nggak …,” dia menggeleng keras, “aku nggak tahu dan nggak mau tahu!”
“Kenapa?” sambungku kecewa. “Bukankah dia yang menyelamatkan istrimu!”
“Dia sudah diurus keluarganya,” celetuk Gavin yang membuatku berpikir sesuatu.
“Maksudnya?” tanyaku setengah menerka-nerka dalam benak. Papa mamaku sudah membawa tubuhku begitu?
Aku menatap Gavin sepersekian detik meminta penjelasan. Namun, lelaki tinggi itu malah duduk dengan lemas, memangku tangan di lutut sembari mengendurkan kancing baju lorengnya. Dia menatapku datar. “Buat apa aku mengurus orang lain di saat aku harus mengurusimu, Honey?”
“Apa …,” desahku tak percaya, “asal kamu tahu, ya, Pak Gavin! Dialah yang menyelamatkan istrimu dari pesawat yang mau meledak. Perutnya tersayat dan berdarah demi mengeluarkan Hana. Dia tak peduli dengan tas dan barangnya di saat Hana, istrimu ini, mencari ponsel dan tasnya!”
Aku berteriak parau di depan wajahnya sambil menunjuk-nunjuk dada ini penuh emosi. Detik inilah aku merasa kecewa pada Gavin, dan mungkin juga Hana. Mereka hanyalah sekumpulan orang yang apatis pada orang lain, padahal orang lain itu telah berjasa pada hidupnya. Memang nasibku selalu diabaikan, tak dipedulikan nasibnya. Namun, haruskah seperti ini?
Hei, tidak adakah belas kasihan kalian sedikit saja pada sosok Sea?
Gavin menatapku kacau. Pun saat air mata milik Hana ini luruh atas komandoku, dia hanya diam menatapku. “Lalu sekarang kamu mau apa? Pergi bersama Yunita, mau ke mana?” tanyanya kosong.
“Bukan urusanmu!” tolakku sambil membuang tatapan Gavin. Napas sesakku menimbulkan suara sesenggukan, tangis ini masih tertahan meski air matanya tidak.
“Kamu mau ke mana, Hana?” Gavin menarik lembut tangan ini dan membuat pandangan kami bersatu.
“Mencari tubuh orang yang menyelamatkan istri tersayang Anda, Bapak Gavin!” jawabku tegas dengan menekan beberapa kata.
“Harus seperti itu?” gantung Gavin.
“Ya!” jawabku tanpa ragu.
“Kenapa kamu harus repot mencari tubuh orang lain, Hana? Tidak bisakah kita menjalani hidup yang normal?” Lagi-lagi Gavin menahanku dengan pertanyaan bodoh itu.
“Jadi ini sikap seorang Gavin pada orang yang berjasa pada hidup istrinya? Iya!” bentakku tak tahan lagi. Sosok Sea yang terpenjara keluar juga meski ada di tubuh orang yang sifatnya kalem.
“Buat apa, Hana? Kru kabin itu sudah diurus maskapainya. Asal kamu tahu Sky Airlines berusaha menutupi kejadian itu, dan membuatku gagal menemuinya untuk sekedar mengucapkan terima kasih!” beber Gavin lantang yang membuatku spontan melongo. Wajahnya merah padam sambil menunjuk dadanya keras.
“Kamu kira aku diam saja?” tanya Gavin nanar, kemudian dia menggeleng kacau. “Tidak!”
Kurasakan dahi ini berkerut rapat saat dia mulai menceramahiku di depan pintu. Entah didengar Yunita atau tidak, Gavin pun tak peduli lagi. Sepertinya amarah mulai meletup dari pria pendiam ini.
“Selama ini aku hanya menahan diri, tidak ingin membuka luka dan traumamu terbuka. Abang ingin kamu sembuh, Hana. Namun, apa yang kamu lakukan? Kamu terus saja berusaha menjadi orang lain. Kamu berkata ke banyak orang kalau kamu ini Sea, Sea, dan Sea.” Gavin menghakimiku dengan suara lembut, tapi menusuk hati. Dia memang ahlinya, mengaduk perasaan orang dengan suara pelan.
Bibirku bergetar seraya menatapnya buram. “Memang percuma kukatakan ratusan kali, semua tetap tidak logis. Sekarang begini saja Pak …,” ucapku terbata-bata sedikit mengambil jeda napas.
“Kalau aku akting, mana bisa aku senatural ini? Normalnya, aku pasti ingat satu dua kebiasaan Hana yang lama. Ini aku sama sekali tidak tahu, ‘kan?” tanyaku menyudutkannya.
“Orang normal nggak bakalan bisa akting terus-terusan. Aku bukannya kehilangan ingatan, aku memang punya ingatan sendiri, Pak Gavin,” ucapku seraya melepas napas panjang.
“Pak!” Kusentak pelan tangan jenjangnya, dan dia melipat tangannya itu ke dalam saku celana. Aku tak peduli dan terus mengoceh. “Sehari saja Bapak percaya kalau aku itu Sea bukan Hana, bisakah?” pintaku sambil menatapnya memelas.
Lelaki tinggi itu memasang wajah datar. Gavin tak bicara apa-apa selain hanya membuka kunci pintu dan mengayunkan dagu lancipnya ke arah luar. Mata sedihnya tampak tak berekspresi banyak, pun dengan bibir tipisnya yang banyak terkatup diam. “Abang ikuti permainanmu, silakan temui Yunita! Kalau mau cari Sea itu, Abang akan ikut. Kamu nggak boleh pergi sendiri lagi.”
“Ttt – tapi, Bang …,” selaku buru-buru yang langsung dijawab gelengan tegas olehnya.
“Dengan Abang atau tidak sama sekali?” tahannya lugas. Wajahnya mengeras bak patung batu.
Menyerah, aku akhirnya menerima keputusan Gavin. Secercah harapan mulai menitik di kegelapan ini. Meski harus pergi bersama Gavin, tak masalah asal aku bisa pergi menemukan tubuhku. Langsung saja kutemui Yunita di depan rumah. Dia menyambutku dengan lega.
Mungkin saking leganya, kupeluk tubuh empuknya itu tanpa ekspresi. Tanpa kusangka, Yunita menangis sesenggukan di pelukanku. Dia meminta maaf sudah membuatku menyakiti diri sendiri. Yunita janji akan membantuku, apa pun itu.
---
Saat off duty, aku lebih suka menghabiskan waktu di mess pramugari. Itu jauh sebelum kamarku digeser mbak Paula, ah aku benci orang itu. Setelah diusir dari mess, aku kembali ke rumah. Memang tak ada tempat bagiku di tempat itu karena mereka akhirnya tahu kalau rumahku sekota dengan operation center.
Dengan kata lain, aku tidak boleh ambil jatah asrama.
Pada akhirnya aku kembali ke tirani Papa Mama yang menyesakkan itu. Dengan gondok, membalas tatapan cuek Papa dan binar mata Mama yang senang aku pulang. Sayang sekali bagi Mama, aku lebih banyak ngendon di kamar nonton drama Korea daripada mendengar curahan hati menyayatnya.
Siapa yang sangka kalau kisah hidupku sekarang sefantasi drama Korea. Menyedihkan.
Pernah kudapat sebuah kutipan yang menyedihkan dari sebuah melodrama, “Gun, Glory, Sad Ending”. Senjata, kemenangan, dan akhir yang sedih kurasa sedang berhubungan dengan kehidupanku saat ini.
Aku berada di sisi pria bersenjata, biasa memegang senjata berat dan meletuskannya pada target yang tepat. Dia terbiasa berkutat dengan teori-teori perang untuk mencapai kemenangan. Meski bukan perang nyata, semisal perang dengan hati. Gavin adalah pria yang seperti itu.
Namun, akankah nasibku berakhir tragis seperti drama itu? Sad ending, akankah jadi ending terbaikku? Tidak bisa pergi dari tubuh ini atau tidak bisa berada di dunia ini lagi, itukah? Sakit kepala jika memikirkan itu. Mampu membuatku tak bisa memejamkan mata malam ini.
Kulirik jam di sebelah pendingin ruangan, pukul 00.30. Sudah dini hari dan aku gagal terlelap ke alam mimpi. Entah kenapa rasa kantukku pergi tanpa diusir. Mungkin karena terlalu tidak sabar menunggu hari esok. Ya, besok memang aku akan pergi ke Solo. Bersama Gavin dan Yunita, aku akan mulai menjejaki keberadaan Sea.
Meski harus pergi dengan pesawat dan Gavin izin tidak dinas, semua diabaikan demi nasib Sea. Aku merasa kali ini Gavin mulai berpihak padaku, peduli pada nasib Sea. Ya, mungkin sih. Bisa jadi dia sibuk karena ini menyangkut tubuh istrinya. Ya sudahlah, tidak usah berharap suami orang peduli padaku juga, ‘kan?
Kuputuskan untuk berjalan ke dapur. Mungkin segelas susu di kulkas bisa membuatku tidur. Meski anti memasak dan tidak bisa memasak, aku masih bisalah menghangatkan susu di atas kompor. Aku tak sebodoh itu kok, masih tahu dasar-dasar survive meski cuma pakai rice cooker.
Sayangnya, nihil. Tak ada satu pun kotak susu saat aku mengaduk isi kulkas. Kulkas ini hanya berisi sekantong apel Fuji, air mineral, dan sekotak es batu. Gavin tidak belanja rupanya, mungkin sibuk atau lupa. Entahlah, aku tak mau memikirkan apa-apa selain hanya mencari makanan. Aku lapar karena melewatkan sesi makan malam.
Selepas bicara dengan Yunita, aku langsung masuk kamar dan mengabaikan Gavin yang mengetuki pintuku. Dia bilang akan mengajakku makan luar tadi. Masih saja peduli saat mulai percaya bahwa aku bukan istrinya. Anggap saja lelaki itu memang baik.
Namun, lelaki baik itu tak punya persediaan mi instan atau apa gitu. Kontainer plastik di dekat dispenser tak berisi apa pun selain hanya tumpukan plastik hitam. Ada tulisan “Promilch” di bungkusan itu. Keningku berkerut berpikir keras, benda apa ini? Seperti bungkus makanan atau apa?
“Em, kopi,” gumamku paham saat menyobek plastik benda asing itu. Ternyata promilch itu sejenis merek kopi. Aku malah baru dengar.

ESTÁS LEYENDO
Hai, Sea! (End/Complete)
FantasíaPicture by Fanspage Dear Diilireba (IG) Edited by: Canva. Designed by: Nayla Salmonella Dipublikasikan pada : 21 Mei 2021 Bercerita tentang tiga orang manusia bernama Gavin, Hana, dan Sea. Ketiganya tiada benang merah kecuali Gavin dan Hana yang mer...