Episode 23 Trial

1.9K 489 42
                                    

"Aku sudah masakkan kamu sayur bayam jagung dan telur goreng. Kalau kamu nggak suka, berkreasilah di dapur. Barangkali ingatanmu tentang resep-resep itu kembali," cerocos Gavin sambil menyisir rambut di depan kaca kecil di dekat kamar mandi.

Mata sedih tajamnya tak tertuju padaku yang termangu di atas meja makan. Dia tak memandangku meski aku sedang menatapnya kosong. Lelaki itu mirip ibu-ibu pekerja yang berkata pada anaknya. Sangat perhatian dan teliti pada hal sepele.

Tanpa sadar Gavin sudah memandangku lurus dari kejauhan. "Hana, kamu dengar Abang?" tanyanya sabar.

"Eng ... ya, telur goreng dan bayam," sahutku ragu.

Gavin menggeleng. "Saat Abang kerja, jangan buka pintu untuk semua orang meski nggak sembarang orang bisa masuk ke asrama ini. Kalau kamu nggak kenal, selama masih menyebut namaku, terima saja di teras. Oh iya, pakailah baju yang sopan, jangan setelan pendek seperti itu," pesannya panjang lebar sembari mengode baju tidur motif beruang pendek warna biru tua ini.

"Iya, okay ...," aku mengangguk sedikit enggan.

Masih belum terbiasa kalau Gavin mengurus pakaian dan hal pribadiku seperti, pembalut. Sialan, pagi ini aku harus merepotkannya dengan sebuah pembalut. Aku bangun tidur dalam kondisi menyedihkan, kasur ternoda darah yang berasal dari kewanitaan wanita ini. Menstruasi yang ditunggu itu datang juga. Mau tidak mau Gavinlah yang berangkat ke minimarket.

"Kamu butuh painkiller?" sadar Gavin karena aku kembali melamun.

"Eng ... enggak!" Aku tersentak lantas menggeleng. "Nanti aku bisa SMS kalau butuh apa-apa," imbuhku berharap Gavin cepat berangkat saja.

"Okay, kalau ada apa-apa teleponlah. Kalau nggak ada apa pun tetap telepon saja. Barangkali kamu kangen Abang," ucap Gavin seraya mendekatiku. Penampilannya sudah rapi, tanda dia akan segera dinas. Dan tanda dia akan mengecup bagian tubuh istrinya ini.

Tidak, aku masih tak ingin bersentuhan sejenis itu!

"Setop! Berangkatlah, Bang! Keburu siang, dan terompet," tahanku sambil membentuk tangan ke depan tubuhnya.

"Oh ... okay," ucapnya ragu sambil menyambar topi hijau di dekat tanganku. "Abang cuma mau ambil ini!" Dia mengacungkan benda itu dan membuatku mati kutu, malu.

Gavin berjalan mendahuluiku, tentu saja aku mengekor karena hendak mengunci pintu dan memastikan dia sudah pergi. Namun, lelaki ini selalu berbalik badan seenaknya. Membuatku tak sempat menghindar saat bibir itu mengecup kening milik Hana ini. Dia mengecupku, tidak, mengecup Hana lagi tanpa aba-aba. Mana sekarang memasang senyum polos tanpa dosa. "Abang berangkat, ya!"

"Y – ya ... selamat tinggal!" ucapku kaku.

Dia tersenyum sabar. "See you soon, bukan selamat tinggal!" ralatnya yang kutanggapi anggukan kosong.

Lelaki itu akhirnya pergi dengan senyum mengembang. Entah apa maksudnya, senang karena sudah mengerjaiku atau berpura-pura bahagia. Apakah Gavin bahagia hidup bersama istri yang seperti orang lain ini? Kurasa tidak, siapa yang suka tidur sendirian setiap hari? Siapa yang suka repot bangun pagi demi sarapan? Siapa yang suka mengerjakan semua pekerjaan rumah demi istrinya?

Hidup lelaki itu berubah total, sama sepertiku. Mungkin dia juga sudah tahu jika perasaan istrinya telah berubah, karena ada jiwaku. Ini sungguh menyedihkan.

Sanggup membuat air mataku luruh saat memakan masakan sederhana tentara ini. Hanya sayur bayam jagung dan telur ceplok, tanpa sambal atau bumbu lain. Masakan sederhana yang mungkin hanya dimasak oleh anak SMP itu terlihat miris. Gara-gara aku yang tak bisa memasak dan merusak imej Hana, Gavin jadi repot seperti ini.

Hai, Sea! (End/Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang