06 : Perjanjian

6K 916 220
                                    

Di tengah hutan. Eh bukan deng, lebih tepat nya sih di lapangan yang dikelilingi pohon rindang. Bisa dibilang ini lagi kemping.

Kurang kerjaan banget emang. Buat apa coba ada Villa tapi suruh tidur di tenda? Emang ye, aneh-aneh aja ini panitia.

Gue yang dari tadi sedang sibuk masang tenda sana sini sedangkan bang Dean cuma liat gue doang. Lo kira gue babu apa? Kan ini juga buat dia juga!

"Yaelah ini tenda buat tidur gue sendiri kali ye? Kagak ada apa yang niat bantuin gue?" Gue melirik bang Dean males. Bang Dean menggakatkan sebelah alisnya. Gue mendengus, "bantuin dong Abang ku sayang."

Bang Dean menaruh tasnya ke tanah. Dia berjalan kearah gue. Gue udah feeling bakalan bantuin nih orang. Syukurlah jadi gue bisa pergi mau ngapelin Jingga. Biasa lah cari muka, basa-basi buat bantuin dia bikin tenda.

"Mandiri dong." Bang Dean duduk di sebelah gue sambil meminum-minuman kalengnya. Kurang ajar! Gue kira dia mau bantuin gue ternyata cuma duduk di tempat yang teduh. Yaelah! Gini amat perasaan jadi adek.

"Yaudah Ervan bilangin Papa," Gue mulai cepu. Emang dasarnya gue cepu dari kecil. "Ervan bilangin ya, kalau bang Dean siksa Ervan di sini."

Bang Dean tertawa meremehkan, "coba, kalau Papa percaya."

Gue membuang napas jengkel. Bener juga sih, Papa gak bakalan percaya sama gue.

"Wih Dean punya asisten baru nih," Dosen Bisma datang dari tenda sebelah, "Nanti paman pinjem ya buat bersih-bersih rumah. Lumayan geratisan."

Wah tuh mulut sekate-kate banget kalau ngomong.

Bang Dean tertawa terbahak, "iya nih pak, lumayan hemat uang kalau Ervan bantu bersih-bersih di rumah."

Gue tersenyum manis dan menghampiri dosen Bisma, "tapi sebagai gantinya istri paman buat Ervan ya?"

Plak!

Merdu sekali suara buku melayang di kepala gue, "yaallah bercanda paman!" gue mengaduh pelan. Lumayan loh ini sakitnya. "Lagian selera Ervan bukan seumuran paman kok, tenang. Jingga tetap di hati." Gue menepuk-nepuk dada bangga.

"Kasihan amat anaknya si Arkan. Masih mudah udah stres." Dosen Bisma memandang gue dengan sorot kasihan di buat-buat, "padahal dulu bapaknya dosen paling populer di kampus."

Gue mendatarkan muka, mengsedih.

"Gak pa-pa, yang peting ganteng nya nurun." Gue mengulurkan lidah kearah dosen Bisma, "lagian Ervan populer kok!'"

Emang bener gue populer. Bedanya cuma Papa populer karena berbakat gue enggak. Tapi kan sama aja, sama-sama populer.

"Populer buat onar sih iya." Dosen Bisma semakin meledek gue.

Gue yang kesel langsung mengeluarkan ponsel dari saku celana. Siap-siap mau ngadu ke bokap, "Ervan capuin ke Papa!" 

"Eh? Eh? Eh?" Dosen Bisma langsung merebut ponsel yang berada di tangan gue.

Bang Dean menggelengkan kepalanya. Dari raut mukanya sih Bang Dean kayanya udah muak banget sama tingkah gue sama Dosen Bisma. Tapi mau gimana lagi? Dosen Bisma ngeselinnya nuazubillah.

"Sabar dong, kan paman bercanda," dosen Bisma nyengir. Gue memajukan bibir bawah bertanda tidak percaya. "iya deh paman minta maap."

"Gak." Gue menggeleng tidak sudi.

"Kek cewek lo!" Dosen Bisma melemparkan ponselnya ke gue. Dengan sigap gue tangkap, "yaudah mau apaan? Paman turutin."

"Mau Jingga." Gue nyengir.

"Allahuakbar!" Dosen Bisma mengusap dadanya dramatis. Kebanyakan nonton film sih jadi begini.

"Lo kira Jingga barang bisa di mau-mauin?" Dosen Bisma menyorot gue tidak abis pikir, "nyebut lo Van, Van. Bokap lo nangis dah beneran kalau tau tingkah anak nya macam gini. Gak ada bentukkan."

"Yaudah kalau gak mau," gue mengambil ponsel lagi. Dosen Bisma melotot, "ayo mau gak? Kalau enggak yaudah Ervan bilangin Papa biar paman di ceramahin kaya dulu mau?"

"Ya Allah ngeselin banget nih bocah!" Dosen Bisma menggerang kesal. Lalu mengangguk setuju, "yaudah mau diapain itu Jingga?"

"Jadi gini..." Gue tertawa bahagia. Akhirnya ada hikmah di balik gue bikin tenda sendirian. "Nanti malam kan ada acara api unggun, nah terus ... " Gue melanjutkan ucapan itu berbisik-bisik kepada dosen Bisma. "Gimana?"

Dosen Bisma menelan ludahnya kasar. Hendak pergi, tapi gue mencekal pergelangan tangannya terlebih dahulu. "Gitu doang?"

Gue mengangguk, "iya gitu doang. Gampang kan?"

"Bibir bibir mu." Dosen Bisma mendengus kesal.

"Ayo dong masa gak bisa sih?" gue berdecak sebal, "katanya mantan buaya. Buaya kaleng-kaleng ini mah."

"Yeh! Lo merangukkan keahlian gue nih?" Dosen Bisma sewot. Gue menggangkatkan bahu acuh tak acuh. "Kalau paman bisa gimana?"

"Kalau paman bisa, berarti sohib Ervan."

"Kalau gak bisa?"

"Kita slex!" Gue menyilangkan kedua tangan dengan gaya menggorok leher.

"Buset." Dosen Bisma menggeleng-ngelengkan kepalanya.

"Eh? Bentar-bentar," gue seketika menyadari sesuatu. Kok kaya ada yang kurang. Apa ya? "Bang Dean mana?"

Gue memperhatikan sekeliling. Dari tadi gue baru sadar ternyata Abang gue ilang. Tuh anak kemana?

"Lah iya? Paman juga baru sadar." Dosen Bisma menatap gue kaget. "Jangan-jangan diculik?"

"Diculik siapa tuh?" Gue memasang muka penasaran.

"JUBAEDAH HAHAH!!!" Dosen Bisma tertawa keras. Diikuti oleh gue.

Emang pada dasarnya sama-sama sengklek, mau seserius apa juga kalau disatuin tetep aja sengklek.

"Paman bener ya nanti malam!" Gue mengacungkan jari kelingking. Minta kepastian. "Awas aja kalau bohong!"

"Cielah, kek bocah aje lu pake janji-janji begitu." Dosen Bisma menatap kelingking gue ngeri.

"Cepetan janji!" Gue mengacungkan kelingking gue lebih tinggi.

"Iya-iya nih janji!" Dosen Bisma menyatukan kelingking gue sama dia.

"Gitu dong." Gue sumringah.

"Lo mah baik kalau ada maunya doang!" Dosen Bisma menggerutu, "udah ah, paman pergi dulu, mau check mahasiswa lain. Takutnya kesulitan bikin tenda."

"Ya Allah! Dari tadi Ervan enggak ditanya tuh soal begituan! Jangankan ditanya, dibantuin aja enggak. Gimana sih dosen kok pilih kasih?!" Protes gue.

"Lo doang mah, gak peduli gue." Ucap dosen Bisma sambil pergi gitu aja kearah barat.

Gue melongo.

***

Yash! Gimana? Lebih suka pake kata "Dosen Bisma" apa "Paman Bisma" aja? Coba komen lebih enak dibaca gimana?

take care of your health, don't forget to be grateful dan jangan lupa jaga kewarasan otak kalian <3

Dua Sejoli Where stories live. Discover now