19 : Waktu terus berlalu

2.1K 226 6
                                    

Jangan lupa votement!!

Part menuju ending ....






Beberapa tahun kemudian. Maven dan Janu sudah sama-sama masuk Sekolah menengah pertama. Maven kelas tiga, dan Janu kelas satu. Kedua anak laki-laki yang sudah rapi dengan seragam putih biru itu duduk menghadap meja makan, menatap sang ibu yang tengah menyiapkan sarapan di atas meja. Di samping sang ibu, ada ayah mereka yang sibuk dengan ponselnya.

"Sarapan dulu," tegur Tiyas pada suaminya.

Jendral hanya manggut-manggut, lalu mengantongi ponselnya.

"Lusa Ayah mau pergi bisnis ke London, kalian mau oleh-oleh apa dari Ayah?" tanya Jendral.

"Berapa lama, Yah?" tanya Januar.

"Dua minggu ...."

"LDR-an sama Ibu, dong," celetuk Maven.

Jendral dan Tiyas saling tatap, lalu sama-sama terkekeh.

"Belajar di mana kata-kata kayak gitu? Maven tahu LDR artinya apa?" tanya Tiyas, lalu menyuap chicken katsu buatannya sendiri ke mulut.

"Tahu, long distance relationship, kan? Kayak hubungan jarak jauh gitu," jawab Maven dengan mulut yang terisi makanan. "Aku tahu dari temanku, dia bilang orang tuanya LDR-an karena Papanya lagi di luar kota."

"Jadi, kalian mau hadiah apa dari Ayah?" tanya Jendral lagi.

"Aku mau kamu sampai di sana dengan selamat, dan balik ke sini lagi dengan selamat juga," sahut Tiyas.

"Setuju!" sahut Maven dan Januar bersamaan.

Jendral tersenyum tipis. "Enggak mau yang lain lagi?"

"Ayah bawain apa aja kita akan terima, kok, asal jangan bawa yang aneh-aneh aja," celetuk Janu usai meminum susunya. Ia mengikuti sang ayah yang menyukai susu. Berbeda dengan sang kakak yang lebih menyukai jus buah.

"Memangnya kapan Ayah pernah bawa yang aneh-aneh, Januar?" tanya Jendral.

Januar mengetuk dagunya sambil berpikir. "Eum ... enggak pernah, sih."

Obrolan masih berlanjut sampai mereka selesai sarapan. Setelah itu, Maven dan Janu pamit lebih dulu dan masuk ke dalam mobil ayah mereka. Tersisa Jendral dan Tiyas yang masih berdiri di teras. Tiyas memeluk suaminya itu erat-erat sambil membenamkan wajahnya di dada bidang Jendral.

"Ada apa?" tanya Jendral sambil mengusap kepala istrinya, tidak biasanya Tiyas memeluknya sangat erat seperti itu.

"Lusa kamu beneran berangkat ke London?" tanya Tiyas balik tanpa menatap suaminya.

"Iya, Sayang ... kenapa?"

Tiyas mendengkus pelan, lalu melepas pelukannya dan mendongak menatap sang suami. "Enggak apa-apa, berangkat, gih ... nanti telat," ujarnya sembari meraih tangan Jendral, lalu mengecup sekilas punggung tangan itu.

Jendral membalas dengan kecupan singkat di kening istrinya. "Aku berangkat, assalamualaikum," pamit Jendral.

"Waalaikumsalam, hati-hati di jalan."

***

Dua Minggu terasa begitu lama bagi Tiyas karena ia terus merindukan Jendral. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Jendral pergi bisnis trip ke luar negeri, tapi kali ini entah mengapa terasa berbeda. Tiyas menghela napas pelan, berdoa semoga suaminya baik-baik saja selama di negeri orang.

"Assalamualaikum, Ibu!" seru Maven dan Januar bersamaan, mereka baru saja pulang sekolah. Keduanya menghampiri Tiyas yang baru saja selesai memasak.

"Waalaikumsalam, Ganteng-gantengnya Ibu," balas Tiyas sambil tersenyum hangat.

Between Candy and Cigarette ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang