My Captain - 15

3.2K 134 0
                                    

Semua sudah menjadi takdir Allah. Ia punya skenario terindah untuk hamba-Nya. Mungkin perkiraanmu sudah bagus, tapi jalan Allah lebih indah dari apapun.

**

"Gimana menurut lo?" tanya Alvaro pelan, saat ini mereka telah kembali dari ruangan dokter Shella, dan berada di salah satu kedai yang menjual rujak.

"Saya bingung, Mas. Disatu sisi, saya ingin istri saya sembuh, tapi di sisi lain saya tidak bisa membahayakan kesehatan mereka bertiga," jawab Alger berusaha menampilkan senyumnya.

Alvaro mengangguk mengerti. "Terus gimana hubungan lo sama siapa itu, shiva-shiva?" tanya Alvaro dengan menyebutkan nama menggunakan lagu sebuah kartun yang disukai adiknya. Udah besar, masih aja nonton dunia perkartunan.

Alger terkekeh pelan, menghentikan aktivitasnya yang tengah menyendok potongan buah. "Syifa? Udah nggak, Mas. Semenjak ya, beberapa minggu lalu. Semenjak saya mengungkapkan perasaan saya pada Nafisa," ujar Alger menatap lekat laki-laki yang duduk di depannya.

Alvaro membalas tatapan tersebut, dirinya terkejut dengan pengakuan adik iparnya. "Jadi ... lo udah ungkapin perasaan lo sama adek gue? Terus gimana jawabannya? Ikhlas nggak tuh?" cecar Alvaro, ia bahkan sampai tersedak. Buru-buru Alger memberikan minumnya, dan langsung tandas seketika.

"Iya, Mas. Awalnya saya ngerasa aneh, waktu saya ungkapin perasaan saya itu. Disaat perempuan lain berbondong-bondong untuk mendapatkan hati laki-laki yang didamba, berharap laki-lakinya mengungkapkan kata cinta. Tapi, beda sama Nafisa. Saya lihat ada semburat merah di pipinya waktu itu. Dia seneng, tapi seakan tersadar akan sesuatu, yang entah apa membuatnya berkata 'jangan suka Nafisa'. Awalnya saya nggak paham dari perkataannya waktu itu, Mas. Tapi sekarang saya tau, dan mungkin itu salah satu cara dia buat nggak nyakitin orang lain," jawab Alger menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong, entah apa yang ia lihat. Melamun.

"Lo benar, Nafisa memang seperti itu. Dia bakal nutupin segalanya yang bikin dia sakit, demi orang-orang yang dia sayang. Mau semenyakitkan apapun, dia bakal tetap ceria, ketawa. Jarang banget kita liat dia nangis, iya kan?" imbuh Alvaro, membayangkan bagaimana adiknya yang sangat menyayangi orang-orang di sekelilingnya.

"Betul, Mas. Dan karena itu, saya merasa sangat bodoh. Andai saja semuanya—"

"Bukan salah lo, semua udah jadi takdir yang di atas. Allah punya skenario terindah untuk hamba-Nya. Dan, maaf." Alger langsung mengembalikan pijakannya, menatap Alvaro dengan tatapan bingungnya.

"Gue bakal tetap bawa Nafisa untuk kemo."

Alger membelalakkan matanya terkejut. Namun, tak berangsur lama ia kembali menormalkan mimik wajahnya.

"Mungkin ini yang terbaik buat Nafisa. Menjalankan kemoterapi dengan dosis rendah. Yang insyaa Allah tidak akan membahayakan dirinya, juga kedua janin dalam kandungannya. Gue bakal bawa dia ke luar negeri, sorry. Lo nggak bisa ikut dulu. Lo juga pasti masih ada kerjaan buat flight, lo nggak bisa abaikan pekerjaan lo itu— dan jangan lupakan sumpah lo sebagai kapten pilot," sambungnya cepat. Alvaro tak ingin ada kesalahpahaman antar dirinya juga suami adiknya itu.

Alger tertawa sumbang dan berkata, "iya, Mas betul. Dan mungkin, dengan tidak ikutnya saya dapat membuat keadaan Nafisa lebih cepat untuk membaik. Ya, saya terima, mohon maaf, Mas. Belum bisa menjadi apa yang kalian harapkan. Saya memang egois." Alger menundukkan kepalanya pelan.

"Jangan gitu, gue nggak mau lo ikut karena alasan lain, salah satunya pekerjaan lo sebagai pilot. Kalau gue mah tinggal serahin ke asisten. Lah lo? Ya kali serahin nyawa ratusan orang ke orang lain," jelas Alvaro, dirinya berusaha mengubah mindset yang ada dalam otak Alger. Bahwa dirinya tak bersalah.

My Captain! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang