08

3.3K 331 6
                                    

“Dan hari ini pertama kalinya tidak ada yang mengganggu ketika gue jalan sama lo.”Abimael Bara Valerin.

•••

“Perjuangkan dia yang sedang bersama kita, jika layak diperjuangkan. Namun, lepaskan dia jika di hatinya sudah tak ada lagi nama kita. Karena memperjuangkan orang yang di hatinya sudah tak ada lagi nama kita, maka semuanya akan sia-sia!”Author-nya.

•••

Lelaki dengan setelan serba hitam itu, tengah duduk santai di sofa empuk rumah kekasihnya. Sembari menunggu kekasihnya ia memainkan gitar yang tersimpan di pinggir tembok dekat lemari hiasan.

Sesekali ia petik senar gitar itu, yang menimbulkan bunyi. Kayaknya seru juga kalau nyanyi-nyanyi sambil nunggu Qila. Saat Bara hendak kembali memetik senar gitar itu, seorang perempuan dengan setelan celana jeans hitam selutut, baju kaos putih kesukannya dan juga rambut cepolnya tengah menuruni anak tangga, berjalan menuju Bara.

“Kelihatan fresh banget hari ini.” Bara membuka suara tatkala Qila sudah berada di hadapannya. Qila langsung saja duduk di sebelah Bara.

“Iyalah, kan, udah mandi,” ujar Qila seraya menaikkan dua alisnya.

“Terus kemarin-kemarin emangnya gak mandi gitu?” tanya Bara yang masih memegang gitar punya Qila.

“Iya ... seharian,” celetuk Qila membuat Bara terkejut.

“Kemarin sekolah gak mandi?”

“Iya, gak mandi. Cuma cuci muka doang. Males soalnya, Bar.” Pengakuan Qila membuat Bara geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir dengan kekasihnya ini.

“Dasar! Tapi kok, tetap wangi?” tanya Bara penasaran. Pasalnya, sepanjang hari ia di sekolah bersama Qila, tetapi tidak mencium bau-bau belum mandi sedikit pun. Malahan Qila tercium sangat wangi.

“Ya pakai parfumlah Bara! Masa iya gak mandi, terus gak pakai parfum lagi. Yang ada gue digosipin seantero sekolah!” jawab Qila dengan rusuh, membuat Bara kembali geleng-geleng kepala.

Bara mengacak rambut Qila gemas. “Pinter banget sih!” Entah itu kedengarannya benar-benar pujian, atau ledekan yang berkedok pujian di telinga Qila. Yang jelas ... Bara sangat menyukai sifat unik Qila, yang membuatnya bertahan sampai sekarang ini dengan gadis di hadapannya.

“Ya iyalah, gue gitu loh!” ujar Qila berbangga diri sambil menggidikan kedua bahunya.

“Orang lain dipuji itu merendah, bukannya malah makin merasa tinggi!” Bara mencubit pelan pipi Qila yang membuat sang empu mengaduh.

“Suka-suka gue lah!” Qila memanyunkan bibir bawahnya, lalu bersandar di dada bidang sebelah kiri lelaki di sampingnya.

“Qil,” panggil Bara. Qila mendongkak menatap Bara yang masih bersandar di dada bidang lelaki itu.

“Apa?” sahut Qila.

“Aku mau nyanyi. Kamu mau denger gak?” tanya Bara dengan raut wajah serius.

“Nyanyi?” Beo Qila yang langsung mendapat anggukan dari Bara. “Mau!” lanjut Qila penuh dengan semangat.

“Tapi ... jangan ketawa kalau suara aku jelek!” peringat Bara. Maksud Bara bukan karena takut suaranya yang jelek ditertawakan, melainkan ia takut pas lagi nyanyi serius-seriusnya malah ikut tertawa. Kan, itu gak lucu.

“Oke,” ujar Qila seraya mengacungkan kedua ibu jarinya di hadapan Bara.

Qila beranjak, menormalkan duduknya. Saat ini keduanya duduk di sofa yang sama dan saling berhadapan. Bara mulai memetik senar gitarnya. Dan ... Di detik itu juga alunan nyanyian terdengar begitu syahdu.

Terimakasih, Aku Pamit [Tamat]Where stories live. Discover now