11

3.2K 309 18
                                    

“Kenyataan yang selalu menghancurkan harapan.”—Abimael Bara Valerin.

•••

“Gue kira lo datang mau membela gue, tetapi nyatanya lo malah membela orang yang salah!”—Abimael Bara Valerin

•••

Mata pelajaran Biologi sudah berlangsung sejak tigapuluh menit yang lalu. Mata pelajaran kali ini terasa begitu lama bagi Bara. Bara ingin cepat-cepat keluar kelas untuk menemui Arkan.

Bara melirik pada Qila yang fokus memperhatikan guru di depan yang sedang menjelaskan. Tumben banget fokus. Biasnya juga tidur, pikir Bara.

Bara beranjak dari duduknya sambil mengangkat tangan ke atas. “Bu, saya izin ke toilet,” izin Bara pada Bu Riri—Guru Biologi.

“Silahkan,” ujar Bu Riri.

Tanpa berpikir panjang, Bara langsung saja berjalan keluar membuat Qila memperhatikan kekasihnya itu. Bener-benar ke toilet atau cuma sekedar alasan, pikir Qila masih memperhatikan Bara yang perlahan sudah menghilang di pintu keluar-masuk kelas.

“Qil,” panggil Luna dari belakang dengan bisikan. Qila yang merasa dirinya dipanggil, kemudian menoleh.

“Apaan?” tanya Qila dengan bisikan juga.

“Tumben banget Bara ke toilet saat jam pelajaran.” Luna kembali berbicara pada Qila dengan bisikan. Apa yang diucapkan Luna ada benarnya juga. Qila jadi penasaran.

Qila beranjak dari duduknya sambil mengangkat tangannya ke atas. “Bu, saya izin ke toilet.”

***

Bara berjalan menuju arah belakang sekolah. Sebenarnya ia tidak ingin ke toilet. Bara hanya ingin menemui Arkan yang mengajaknya untuk bertemu di belakang sekolah. Bara penasaran apa yang ingin dibicarakan oleh kakaknya itu.

Bara sudah tiba di mana tempat Arkan memintanya bertemu—belakang sekolah. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tepat di satu titik pandangannya terhenti.

Bara berjalan ke arah di mana tiga lelaki itu berdiri. Kelihatannya Arkan bersama kedua sahabatnya.

“Ada apa lo, nyuruh gue ke sini, Bang?” tanya Bara ketika sudah berada di hadapan kakaknya itu.

Arkan maju selangkah mendekati adiknya—Bara. Ia menepuk bahu Bara lumayan cukup keras. “Lo jauhi Qila. Karena Qila akan dijodohkan sama gue!” peringat Arkan seketika membuat amarah Bara terpancing.

Bara menyentak tangan Arkan yang masih memegang bahunya. “Gak! Gue gak akan lepasin Qila!” protes Bara tak terima. Dadanya sudah naik-turun menahan amarah.

“Lihat aja nanti. Lo gak akan bisa bersama Qila, meski hanya untuk melihatnya saja!” peringat Arkan. Ucapan Arkan terdengar biasa-biasa saja. Namun, mengandung berjuta makna. Ucapan Arkan seperti isyarat dari sang pencipta untuk Bara.

Bugh!

Satu pukulan mengenai rahang Arkan. Membuat sang empu mengaduh kesakitan.

“Lo boleh aja sakiti gue! Tapi jangan pernah mencoba untuk merebut Qila!” murka Arkan dengan dada naik-turun. Wajahnya memerah padam.

Arkan maju satu langkah mendekati Bara.

Bugh!

Arkan meninju tepat di bagian sudut bibir Bara. Sudut bibir lelaki itu mengeluarkan sedikit bercakan darah. Hal yang membuat Arkan merasa mual melihatnya. Merasa tidak terima, Bara hendak kembali melayangkan Bogeman pada Arkan. Namun, pergerakannya terhenti di saat suara yang sangat familiar menginstruksi.

“Stop!” teriak seorang perempuan berlari ke arah Bara dan Arkan. Siapa lagi kalau bukan Qila.

“Ar, lo nggak papa kan?” tanya Qila menangkup kedua sisi pipi Arkan dengan raut wajah khwatir.

Qila membalikan tubuhnya menjadi menghadap Bara. “Lo itu kenapa sih, Bara? Suka banget cari masalah!” omel Qila dengan raut wajah memerah padam. Bara kira, Qila akan membela. Namun, nyatanya malah sebaliknya.

“Lo tadi izin sama Bu Riri mau ke toilet, tapi nyatanya lo malah cari masalah sama Arkan!” murka Qila. Bara bingung harus berbuat apa.

“Memang. Memang aku yang pukul Bang Arkan duluan, tapi—”

“Lo itu, benar-benar ya!” Jari telunjuk Qila menunjuk-nunjuk tepat di hadapan wajah Bara. Lalu, ia pergi begitu saja mengajak Arkan yang masih berdiri di tempat. “Ayo Ar, kita ke UKS. Lo berdua bantuin gue,” ajak Qila sambil menyuruh Fahri dan Dika membantu Arkan berjalan.

Bara mematung di tempat melihat kekasihnya yang lebih membela Arkan. Raut wajah lelaki itu, tidak bisa menutupi kekecewaan.

***

“Siapa yang mulai mukul duluan!?” tanya Pak Somad—guru BK. Matanya melotot seperti akan keluar.

“Saya Pak,” jawab Bara dengan tegas. Meskipun ini bukan kesalahan sepenuhnya Bara, tetapi memang dirinya yang memulai mukul duluan.

“Kamu ini bisanya cuma cari masalah aja! Bukannya kamu tadi izin ke toilet sama Bu Riri?” tanya Pak Somad dengan nada marah. Bara hanya mengangguk mengiyakan. Sedangkan Arkan tersenyum puas melihat adiknya itu.

“Sekarang juga kamu keliling lapangan lima belas kali putaran!” hukum Pak Somad tak tanggung-tanggung.

Sedikit pun Bara tidak membantah. Ia beranjak dari duduknya, lalu berkata, “Baik.” Setelah itu Bara pergi ke luar untuk menjalankan hukuman yang diberikan Pak Somad.

Pak Somad menatap kepergian Bara yang berlalu begitu saja. Lalu, melirik pada Arkan yang masih berada di hadapannya. “Silahkan kamu ke luar dari ruangan saya,” usir Pak Somad.

“Saya gak di hukum Pak?” tanya Arkan.

“Enggak,” ujar Pak Somad dengan raut raut wajah datar. “Lain kali jangan diulangin lagi,” lanjut Pak Somad.

***

Kakinya terus melangkah memutari lapangan. Keringat sudah bercucuran di mana-mana. Bahkan seragam baju sekolahnya pun sudah basah menjeplak dengan punggung.

Sudah sepuluh kali putaran Bara tidak melihat kemunculan Qila. Biasanya jika ke kantin, gadis itu akan melewati lapangan ini.

Raut wajah Bara terlihat pucat. Sejak tadi ia tidak berhenti. Ia terus berlari memutari lapangan. Bahkan pagi tadi ia belum sempat sarapan di rumah.

Di sisi lain dua orang perempuan tengah berjalan menuju kantin. Perjalanan keduanya ditemani dengan obrolan-obrolan random.

“Qil, itu Bara!” tunjuk Luna menghentikan langkah tatkala melihat Bara yang sedang menjalankan hukumannya. Di detik itu, Qila langsung saja berhenti melangkah dan melirik pada arah telunjuk Luna.

Qila tidak merespon apa-apa. Ia hanya melirik lelaki itu kemudian kembali berjalan.

“Qila elo gak kasian sama Bara? Dia kelihatan pucat banget!” kesal Luna melihat respon sahabatnya terlihat biasa-biasa saja.

“Terus gue harus apa, Lun? Gue harus mohon-mohon sama Pak Somad biar hukuman Bara dicabut gitu?” seru Qila melirik pada Luna yang berada di sampingnya. “Ya udahlah, biarin aja. Orang Bara nya aja salah. Biar dia tanggung jawab sama kesalahannya!” ujar Qila membuat Luna gemas karena respons Qila.

Keduanya terus terus berjalan sampai terhenti di kantin. Terlihat seorang lelaki melambaikan tangan pada Qila. Menyuruh Qila agar duduk di meja bersamanya. Qila pun mengajak Luna untuk duduk di meja bersama lelaki itu. Iya, siapa lagi kalau bukan Arkan dan kedua sahabatnya—Dika dan Fahri.

TBC

Gimana part hari ini?

Silahkan Yang suka sama quotes-nya gapapa share aja.

Kalau ada di posisi Bara kalian bakal lakuin apa?

Salam sayang buat kalian see youuuuuuuuu


23 Agustus 2021
10.08

Terimakasih, Aku Pamit [Tamat]Where stories live. Discover now