18) delapan belas

472 73 56
                                    

Anaraya mengedarkan pandangnya mencari letak lelaki yang kemarin meminta dirinya untuk datang ke taman didekat gedung fakultas kedokteran. Walaupun hari ini otaknya sedikit gosong karna pembelajaran yang kian menjengkelkan, sebenarnya tidak sih, hanya saja ia belum paham, tapi janjinya pada Wira kemarin untuk datang tetap harus ditepati.

Lagipula, hei, ini hanya pertemuan biasa yang tidak akan berarti apa-apa. Ya, mungkin hanya menurut dirinya tidak berarti apa-apa. Padahal untuk Wiranata, bertemu Anaraya adalah hal yang paling ia nantikan kedatangannya.

"Hai kak, permisi, ya?" sapa gadis itu, sedikit membungkuk seraya menggerakkan tangannya diatas wajah Wiranata.

Tidur, ternyata.

Lelaki itu tertidur hanya dengan menyandarkan punggungnya pada kursi taman. Juga dengan kepalanya yang mendongak ke arah langit. Matanya terpejam, mungkin menikmati waktu istirahat yang tidak cukup banyak.

Pasti berat, ya?

"Kak," panggilnya lagi saat tidak mendapat respon apa-apa. Sepertinya Wira terlalu lelah. "Kak, halo, permisi, paket!" ujar Anaraya lagi. Yang kali ini berhasil, lelaki dihadapannya membuka mata.

"Ah sorry ya Ann. Gue ketiduran," jawab Wira seraya membenarkan posisi duduknya menjadi tegap.

Anaraya benar-benar tidak tahu menahu tentang alasan mengapa Wira ingin menemuinya hari ini. Untung ia ada waktu karna setelah mata kuliah terakhirnya selesai, Anaraya tidak memiliki urusan apa-apa lagi. Juga Arrayan yang sudah lebih dulu meminta izin pulang terlambat karna mengerjakan tugas proyek.

"Enggapapa, lagi cape ya?"

"Sedikit, gue ga fokus banget Minggu depan udah ujian blok lagi." balas Wiranata. Terlihat sekali wajah lelahnya disana. Huh, ini bukan keputusan yang harus ia sesali keberadaannya. Sebab mau bagaimanapun cerita, tujuan awalnya tidak boleh berubah untuk menolong banyak manusia.

Iya, Wira memilih kedokteran bukan karna keinginan awalnya, tapi karna keluarga. Kedua orang tuanya sama-sama bekerja di satu rumah sakit yang sama. Dan keduanya pula yang membimbing Wira untuk mempunyai tujuan hidup yang semestinya.

Menjadi baik, menolong dengan hal yang paling baik, dan memberikan yang terbaik pada sesama merupakan hal yang sering orang tuanya ajarkan.

Sampai-sampai tidak sadar, kalau Wira, juga butuh kasih sayang mereka.

"Kak, gue engga akan maksa lo ngomong apa yang mau lo omongin sekarang. Istirahat dulu, ya? Keliatan banget matanya cape," ujar Anaraya, yang tanpa sadar berhasil menciptakan senyum samar pada wajah datar Wira.

Tuhan, sekali ini saja ya ia meminta? Meminta yang lebih dari semestinya, meminta gadis dihadapan untuk rela menjadi semestanya.

"Ann, boleh gue cerita?" tanya lelaki itu seraya bersedekap dada memandang ke arah atas.

Gadis yang duduk disampingnya tentu mengangguk, tanda mempersilahkan.

"Dulu, ayah sama bunda gue selalu bilang--- atau kayanya bukan cuma orang tua gue, tapi juga semua orang tua di dunia ini, pasti selalu bilang kan ke anaknya? Jadi anak yang baik ya, yang selalu berbakti, yang selalu menyayangi, dan yang selalu pandai menyikapi." suara setengah beratnya membuka percakapan mereka, pun membuka cerita miliknya. "Tapi, apa mereka engga sadar ya, kalau jadi anak yang selalu menyayangi juga masih butuh kasih sayang yang mereka miliki?" tanya lelaki itu.

Anaraya hanya diam mendengarkan. Memaknai setiap kata yang keluar dari cerita Wiranata.

"Ann, rasanya terlalu lebay nggak kalo gue bilang gue cape? Sekarang, ini sekarang gue lagi cape. Cape banget," ia menghela nafas, memberi jeda untuk kalimatnya. "Kaya... lo mau berhenti tanggung, tapi juga nggak sanggup kalo disuruh lanjut." perlahan lelaki itu menunduk, menyembunyikan raut wajah yang tidak boleh dilihat oleh siapa-siapa.

AplombWhere stories live. Discover now