Duapuluh Empat

40.6K 2.8K 49
                                    

Jangan Lupa Follow Author
Dan Ig Author juga @widyaarrahma20

Selamat membaca

Saat baru masuk ke gedung pertemuan itu Nazra langsung disambut oleh wanita berseragam sama dengannya.

“Nah, ini nih pengantin baru, baru nongol. Masih anget, ya?” tutur seorang persit yang biasa dipanggil Bu Eki.

“Mbak Shofi jangan gitu, aku malu,” jawab Nazra, lalu bercipika-cipiki dengan Bu Eki dan beberapa ibu persit yang lain.

“Istrinya wakil Batalyon kok telat, sih? Padahal belum ngurus anak, tapi nggak disiplin,” kata seseorang di samping Bu Eki membuat Nazra menurunkan tangannya yang tadinya berniat mengajak bersalaman.

Nazra mengembuskan napas berat. Sejak awal bertemu, Bu Wijaya selalu bersikap ketus padanya, entah apa sebabnya Nazra pun masih bingung.

“Jangan didengerin, ya, Bu Alden,” ucap salah seorang persit dengan name tag Ny. Sinta Sauqi, artinya istri dari seorang TNI bernama Sauqi, dan nama persit itu sendiri adalah Sinta.

Nazra tersenyum dan mengangguk sopan pada wanita itu yang umurnya berkisar tiga puluhan.

“Eh, Bu Alden, yuk ke depan! Acaranya mau dimulai,” ucap seseorang dari belakang Nazra yang biasa disebut Ibu Guntur, istri Komandan Batalyon.

Nazra mengangguk lagi dan mengikuti arahan Bu Guntur. Nazra duduk di atas panggung menghadap ratusan persit lainnya.

Pangkat suaminya yang menjadikan dirinya duduk di depan mereka.

Wakil Komandan Batalyon.

Nazra sedari tadi hanya terdiam mendengarkan arahan tentang acara yang akan dilakukan seminggu lagi yaitu Hari Jadi Persit ke-76.

Nazra mencatat beberapa yang harus dipahami karena ini kali keduanya ikut perkumpulan persit membuatnya harus banyak belajar tentang dunia istri tentara AD itu.

Tepat pukul 11.30 acara selesai, ditutup dengan makan siang bersama yang telah disiapkan oleh seksi konsumsi.

Nazra duduk di meja bundar bersama beberapa persit lainnya, mereka duduk sesuai jabatannya masing-masing yang menyamakan dengan jabatan suaminya.

Bukan bermaksud membeda-bedakan antar persit, tetapi terkadang ada obrolan khusus dari setiap jabatan yang memang harus mereka diskusikan dalam satu meja tanpa persit lain.

“Bu Alden ini umurnya berapa, Bu? Kayak masih anak SMP soalnya mukanya,” ucap Bu Sinta Syauqi, duduk bersama satu meja dengan Nazra dan ibu persit lain yang sepangkat.

“Masih sembilan belas, Bu, beberapa bulan lagi baru dua puluh tahun.”

“Hah? Sembilan belas? Pantesan masih baby face. Nikah mudah berarti, ya?”

“Hehe. Iya, Bu, saya baru pulang pesantren langsung dilamar.”

“Pak Aldennya yang ngebet, nih, pasti.”

“Hehe. Iya, Bu,” kata Nazra.

Jujur, ia canggung takut salah omong karena ia pernah mendengar bahwa, persit jika tidak bisa
mengontrol ucapannya, taruhannya adalah jabatan suami.

KAPTEN AL (PUBLISH ULANG) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang